MAKALAH
“PENGANTAR STUDY ISLAM”
NIKAH SIRI DAN POLIGAMI
Dosen Pengampu :
Muhammad
Rasyid,SHI,MSI
Di Susun Oleh :
Heri
Norfitrianto(2018110671)
Jauhar Latifah
Mariamcie(2018110656)
Alia(2018110657)
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM
KANDANGAN
2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pengantar Study Islam “NIKAH
SIRI DAN POLIGAMI ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah .
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing kami dalam menulis
makalah ini.Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Kandangan, 12 September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN HALAMAN
1.1
Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Nikah Siri ............................................................................................... 2
2.1.1 Pengertian Nikah Siri .................................................................. 2
2.1.2 Pandangan Masyarakat Umum Nikah Siri ................................. 2
2.1.3 Pandangan Hukum Islam Maupun Hukum
Positif Indonesia.......................................................................... 3
2.1.4 Nikah Siri Menurut Hukum Negara............................................. 4
2.1.5 Pandangan Islam Tentang Nikah Siri.......................................... 6
2.1.6
Landasan Terkait Catatan Pernikahan........................................ 12
2.1.7
Dampak Positif Negatif Yang Di Timbulkan Nikah Siri............... 13
2.2 Poligami................................................................................................. 15
2.2.1 Pengertian Poligami..................................................................... 15
2.2.2 Poligami Dalam Islam.................................................................. 16
2.2.3 Dampak Poligami Jika Tidak Di
Perbolehkan............................. 18
2.2.4 Prosedur Poligami........................................................................ 18
2.2.5 Sebab-Sebab Poligami................................................................ 20
2.2.6 Yang Di Haramkan Dalam
Berpoligami...................................... 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 21
3.2
Kritik Saran............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri,poligami,meningkat berlalunya
waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media
(audio, visual dan audiovisual) tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir
orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi
di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri
adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru
yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut
semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya
masyarakat itu sendiri.
Poligami atau pernikahan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang
sangat ditakuti oleh setiap wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi
peraturan secara ketat akan menimbulkan hal-hal
negatif dalam menegakkan rumah tangga. Biasanya hubungan
dengan istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu
menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini
bisa terjadi jika sang ayah meninggal dunia.
Agar hal ini tidak terjadi, maka Undang-Undang membatasi secara ketat
dengan alasan –alasan dan syarat-yarat tertentu. Undang-Undang
perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu
betul-betul bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya, dan tidak ada yang
merugikan ataupun yang dirugikan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Yang Di Maksud Dengan Nikah Siri ?
2. Apa Yang Di Maksud Dengan Poligami ?
1.3 Maksud
Dan Tujuan
1. Untuk Mengetahui Tentang Nikah Siri
2. Untuk Mengetahui Tentang Poligami
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nikah
Siri
2.1.1
Pengertian Nikah Siri
Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang
laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Istilah nikah siri atau
nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja
nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah
siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan
sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja
saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada
khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada
walimatul-’ursy.
Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini
adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh
para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai
aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang
beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.[1]
2.1.2 Pernikahan
siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap
absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
2. pernikahan yang sah secara agama namun tidak
dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil
negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar
administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain
sebagainya.
3. pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
2.1.3 Pandangan presfektif hukum , baik
hukum islam maupun hukum positif indonesia.
Dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun
terpenuhi. Namun perbedaan adalah Anda tak mempunyai bukti otentik bila telah
menikah atau dgn kata lain tak mempunyai surat sah sebagai seorang warga negara
yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum.Namun perlu dipikirkan dgn
sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah
siri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin utk memberikan pengertian kepada keluarga agar
Anda dapat menikah secara formal.[2]
Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak
wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dgn sang suami sehingga
harus berpisah misal sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum. Di samping
itu bagi anak-anak kita kelak yg nanti memerlukan kartu identitas dan
surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak
mempunyai surat-surat resminya.
Oleh karena jangan jadikan nikah sirri‘ hanya sebagai jalan pintas utk
keluar dengan mudah dalam mengatasi
persoalan.Tetapi coba dulu utk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
2.1.4 Nikah
Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan
Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa
dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah
memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143
Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan,
setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari
enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.[3]
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum
penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu
juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142
ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar
uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah
menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni
(1) hukum pernikahannya, dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat,
dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga
berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap
kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika
perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang
wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh
dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di
dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan
sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau
mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut:
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan
di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal
sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya,
pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah SWT.[4]
Adapun rukun-rukun pernikahan
adalah sebagai berikut:
(1) wali,
(2) dua orang saksi, dan
(3) ijab qabul.
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
2.1.5 Pandangan Islam tentang Nikah Siri
Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia,
pelan-pelan. ( Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 )
Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual,
sebagaimana dalam firman Allah swt :
وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ
سِرًّا
“ Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina ( atau melakukan
hubungan seksual ) dengan mereka “ ( Qs Al Baqarah : 235 )[5]
Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti :
berzina atau lakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid,
Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari.
( Tafsir al Qurtubi : 3/126 ) .
Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru
al Qais :
ألا زعمت بسباسة اليوم
أنني كبرت و لا أحسن السر أمثالى
“ Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini
tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik. “
Nikah Siri dalam pandangan
masyarakat mempunyai tiga pengertian :
1.Pengertian Pertama :
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
secara sembunyi
sembunyi tanpa wali dan
saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap
oleh Imam Syafi’I di dalam kitab
Al Umm 5/ 23,
أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه
إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت
تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت
“ Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang
pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak
membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya )
“[6]
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر
“ Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri “ ( HR at Tabrani di dalam al
Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung
oleh para ulama, adapaun rawi-rawi lainnya semuanya tsiqat (
terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid ( 4/ 62 )
hadist 8057 )
Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya
tidak sah.
2.Pengertian
Kedua :
Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri
oleh wali dan dua orang saksi,tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai.[7]
Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum nikah seperti ini :
Pendapat Pertama :
Menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi
makruh. Ini pendapat mayoritas
ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah,Sya’bi, Nafi’, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu
Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435 )
Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “
( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di
dalam ( al-Muhalla : 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali
dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada
khayalak ramai.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah
( akad timbal balik yang saling menguntungkan ), maka tidak ada syarat untuk
diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana
biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin
dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.
Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist
menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.[8]
Pendapat Kedua :
Menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya tidak sah. Pendapat ini di pegang
oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar
Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama :12/95 ).
Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan
istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib
ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan
hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sanksi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan
kedua mempelai tersebut.( Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al
Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401)
Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت
“Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram
( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara “ ( HR an Nasai dan al
Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain )
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه
بالدُّفِّ
“Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk
mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah )
Imam Tirmidzi berkata :
Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.
Pengertian Ketiga :
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya
saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatatan negara, dalam hal ini adalah KUA .
1. Kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam
bentuk ini ?
2. Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan
pernikahan
mereka ke lembaga pencatatan resmi
?
Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, diantaranya adalah :
a) Faktor biaya, yaitu sebagian
masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu
membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari
biaya resmi.
b) Faktor tempat kerja atau
sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak
membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.
c) Faktor sosial, yaitu masyarakat
sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari
satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut, seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
d) Faktor – faktor lain yang memaksa
seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini
Pertama :
Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam kategori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena
syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.
Kedua :
Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri
semacam ini dikenakan sanksi hukum.
Pertanyaannya adalah kenapa Negara
memberikan sanksi kepada para
1. Pelaku nikah siri dalam kategori ketiga ini ?
2. Apakah syarat sah pernikahan
harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan?
3. Bagaimana status lembaga
pencatatan pernikahan dalam kaca mata Syari’at?
Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak
ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang
yang menikah dan belum melaporkan kepada Negara. Hal itu, mungkin saja belum
ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah
pernikahan, karena dianggap belum diperlukan.
Dan memang pernikahan bukanlah urusan Negara tetapi merupakan hak setiap
individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman
dan permasalahan masyarakat semakin komplek, maka diperlukan
penertiban-penertiban terhadap hubungan antar individu di dalam masyarakat.
Maka, secara umum Negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada
maslahat umum, dan Negara berhak memberikan sanksi kepada orang-orang yang
melanggarnya.[9]
Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
تصرف الراعي منوط بمصلحة الرعية
“ Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat “ ( As
Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet.
Pertama, hlm : 121 )
Maka, dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar
setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan
pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan
antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa
meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga,
yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.
Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk
melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum
muslimin secara umum, maka mestinya Negara tidak mempersulit proses pencatatan
pernikahan tersebut, diantaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai
berikut :
a) Memberikan keringanan biaya bagi
masyarakat yang tidak mampu,bukan malah memintah
bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.
b) Membuka pelayanan pada hari-hari
dimana banyak di selenggarakan acara pernikahan.
c) Tidak mempersulit orang-orang
yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap
anak dan istri mereka.[10]
Tetapi jika ada tujuan – tujuan lain yang tersembunyi dan tidak
diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika
terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin
menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika
keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah
kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta
telah mengumumkan perang tehadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung
memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak
di negeri Indonesia ini. Wallahu A’lam.
2.1.6 Landasan
Terkait Catatan Pernikahan.
Pertama pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, bukti
yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya
seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai
alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris,
hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus
semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepada pelakunya.[11]
2.1.7 Dampak
yang di timbulkan akibat nikah siri
Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan
dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak
dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut situs LBH Apik, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan.
Menurut situs LBH Apik, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan.
Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
1. Anda bisa kehilangan atau
tidak dapat sepenuhnya hak-hak yang seharusnya bila jadi istri sah secara
hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan penghidupan untuk
anak Anda kelak.
2. Seandainya terjadi perpisahan,
Anda tidak berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono
gini.
3. Seandainya pasangan
meninggal dunia, Anda tidak berhak mendapatkan warisan, begitu juga anak Anda.
Karena, anak yang dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya.
4. Anda pun dapat dikenakan pidana.
Istri sah dari kekasih Anda bisa saja melaporkan Anda dan suaminya (kekasih
Anda) telah melakukan tindak pidana kejahatan dalam perkawinan (pasal 279 ayat (1) KUHP) atau tindak pidana perzinahan (pasal 284 ayat (1) KUHP).
Dampak positif :
1. Meminimalisasi adanya sex bebas,
serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung
jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Dampak Negatif :
1. Berselingkuh merupakan hal yang
wajar.
2. Akan ada banyak kasus Poligami
yang akan terjadi.
3. Tidak adanya kejelasan status
isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.[12]
4. Pelecehan sexual terhadap kaum
hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.[13]
Maka dengan demikian jika dilihat
dari dampak – dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih
banyak membawa dampak negatif di banding dampak positifnya.
Serta Akibat hukum dari nikah
siri itu sendiri :
1. Sebagai seorang istri kita tidak
dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun
batin.
2. Untuk hubungan keperdataan maupun
tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada.
“seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan
terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran.
Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak
yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan
sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang
adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri
siri dengan suaminya tersebut.[14]
2.2 POLIGAMI
2.2.1
Pengertian Poligami
Secara etimologi poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polus artinya
banyak dangamos artinya perkawinan. artinya perkawinan yang banyak
atau lebih dari satu.
Menurut bahasa Indonesia artinya system perkawinan yang salah satu pihak
memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Para ahli
membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempinyai lebih dari seorang
istri dengan istilah poligini (gune artinya perempuan). jadi kata yang tepat
untuk menyebut laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu disebut poligini
bukan poligami.
Dalil-Dalil
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم ذَلِكَ أَدْنَى
أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
وَقَالَ وَهْبٌ الأَسَدِيِّ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٌ
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ للنبي صلى الله وسلم اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًاً
“ Wahb al-Asadi berkata “aku masuk islam dan memiliki delapan orang istri,
maka aku katakan hal itu pada Nabi Saw, lalu nabi bersabda “pilihlah empat di
antara mereka” (H.R Abu Daud).[15]
2.2.2 Poligami Dalam Islam
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan ummatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang
laki-laki yang boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat tertentu, baik jumlah maupun
persyaratan yang lain.
1. Jumlah istri yang boleh
dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu di antaranya
ada yang meninggal atau diceraikan , suami dapat mencari ganti yang lain
asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang bersamaan.
2. Laki-laki itu dapat berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah
seperti pembagian waktu jika pembagian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut
masalah lahir.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ
جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ
كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً
”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
تُرْجِي مَن تَشَاء مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إِلَيْكَ مَن تَشَاء وَمَنِ
ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ ذَلِكَ أَدْنَى أَن تَقَرَّ
أَعْيُنُهُنَّ وَلَا يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَا آتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَلِيماً
“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki.
Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang
telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih
dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya
rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa
yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.[16]
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami
sebagai alternative ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan
seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh ke lembah perzinahan maupun pelajaran yang jelas-jelas
diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami
tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari jalan
yang halal dengan syarat bisa berlaku adil.
Firman Allah SWT dalam surat
an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم ذَلِكَ أَدْنَى
أَلاَّ تَعُولُوا
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (Q.S Annisa: 3)
Asbabun nuzul ayat di atas adalah menurut tafsir Aisyah r.a. ayat ini turun
karena menjawab pertanyaan Urwah Bin Zubair kepada Aisyah istri nabi tentang
ayat ini. lalu beliau menjawabnya, “Wahai anak saudara perempuanku,yatim di
sini maksudnya adalah anak yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai
harta kekayaan yang bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya yang
membuat anak itu suka diasuh olehnya, lalu dia ingin menjadikannya istri,
tetapi tidak mau memberi maskawin dengan adil,yaitu memberi maskawin yang sama
dengan yang diberikan kepada wanita lain. Karena itu, pengasuh anak yatim
seperti ini dilarang menikahi mereka kecuali kalau mau berlaku adil kepada
mereka dan memeberikan maskawin lebih tinggi dari biasanya.
Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa yakin tidak dapat
berbuat adil kepada anak perempuan yatim maka carilah perempuan yang lain.
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri
seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain.[17]
2.2.3 Dampak apabila poligami tidak diperbolehkan
1. Kejahatan dan pelacuran terjadi
dimana-mana
2. Banyak anak yang lahir diluar
nikah
3. Munculnya berbagai macam penyakit
badan, kegoncangan mental, dan gangguan syaraf.
4. Mengakibatkan keruntuhan mental
5. Merusak hubungan sehat antara
suami dan istri
6. Merusak keturunan
2.2.4 Prosedur Poligami
Mengenai tata cara atau prosedur poligami yang sah diatur oleh islam memang
tidak diatur secara pasti namun di Indonesia diatur dalam kompilasi agama islam
sebagai berikut:
a) Suami yang hendak beristri lebih
dari satu harus mendapat izin dari pengadilan agama.
b) Poligami yang tidak
mendapat izin tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan
agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila :
a) Istri tidak menjalankan
kewajibanya sebagai seorang istri
b) Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan
keturunan[18]
Di samping syarat-syarat di atas,
maka untuk memperoleh izin dari PA harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Adanya persetujuan istri
b) Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperlusn istri-istri dan anak-anaknya.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya
(Pasal 4 ayat UU Perkawinan).
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan
hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika:
a) Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri
b) isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk
beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
(Pasal 5 ayat UU Perkawinan):
a) Adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri
b) Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c) Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).[19]
2.2.5 Sebab-Sebab Poligami
Sebab-sebab khusus terjadinya poligami
a) Kelemahan istri, misalnya mandul
dll
b) Suami jatuh cinta kepada orang
lain
c) Suami benci kepada istrinya
d) Istri yang telah diceraikan ingin kembali
e) Hubungan kekeluargaan
Sebab umumnya adalah banyak wanita yang belum menikah, janda dan yang
diceraikan.
2.2.6
Yang Diharamkan Dalam Berpoligami
a) Berpoligami dengan kedok mut’ah
b) Berpoligami dengan bibik istri
c) Berpoligami dengan saudara
kandung istri
d) Berpoligami dengan istri kelima
e) Tidak selayaknya istri menyuruh
suami menceraikan madunya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan siri adalah nikah di bawah tangan atau nikah secara
sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena tidak di laporkan ke kantor urusan agama bagi muslim
atau catatan sipil non muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan
nikah sirih adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah
Subhanallah. Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat
(bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau
diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang
berlaku di Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah
karena di dalam perundangan ada yang tidak lengkap secara administrasi.
Pada dasarnya bentuk perkawinan poligami itu diperbolehkan dalam agama
islam, demikian juga Undang – Undang perkawinan di Indonesia juga melegalkannya
dengan syarat-syarat dan prosedur yang ada di Indonesia.
Poligami juga memiliki sisi negatif yang sering dilontarkan oleh orang –
orang yang menentangnya, namun dibalik itu sebenarnya banyak hikmah dari
berpoligami yang tidak di sadari oleh kebanyakan manusia.
3.2 Kritik dan Saran
Banyak sekali orang menentang adanya poligami, namun mereka justru
sebenarnya tidak puas dengan satu istri yang akhirnya mereka melakukan
perzinahan yang dilarang agama. Tidak perlu menentang poligami, masih banyak
perempuan – perempuan malang terlantar.
Kalau bisa memenuhi persyaratan-persyaratan dan prosedur poligami baik
dalam hukum Negara ataupun Hukum agama, kenapa tidak ??
DAFTAR PUSTAKA
Attahir, Abdul Nasir Taufik.Poligami
Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. Jakarta: Bulan Bintang
Fuad, Isnaeni. Berpoligami
Dengan Aman. jombang: Lintas Media
Thalib, Sayuti. Hukum
Kekeluargaan Indonesia. 2009. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tihami dan Sahrani, Sohari.Fikih
Munakahat. 2009. Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.
[1] Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat.(Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.10
[2] Attahir, Abdul
Nasir Taufik.Poligami Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang.
(Jakarta: Bulan Bintang) h.12
[3] Thalib,
Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009)
h.14
[4] Thalib, Sayuti.
Hukum Kekeluargaan Indonesia.(Jakarta:Universitas Indonesia.2009). h.17
[5] Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat. (Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.13-14
[6]
Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat. (Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.17
[7] Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat.(Jakarta: Pt Raja Grafinda
Persada.2009) h.20
[8] Thalib,
Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009)
h.19
[9]Thalib, Sayuti.Hukum
Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009) h.21-22
[10]
Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat. (Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.23
[11] Ibid., h.26-27
[12] Thalib,
Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009)
h.23-24
[13] Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat.(Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.28
[14] Thalib, Sayuti.
Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009)
h.25-26
[15]
Tihami dan
Sahrani, Sohari.Fikih Munakahat. (Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada.2009)
h.29
[15] Thalib,
Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia.2009)
h.27
[16]Attahir, Abdul
Nasir Taufik.Poligami Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. (Jakarta:
Bulan Bintang) h.13-15
[17]Attahir, Abdul
Nasir Taufik.Poligami Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. (Jakarta:
Bulan Bintang) h.16-18
[18]
Fuad, Isnaeni. Berpoligami
Dengan Aman. (jombang: Lintas Media) h.10-11
[19]
Attahir, Abdul
Nasir Taufik.Poligami Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. (Jakarta:
Bulan Bintang) h.19-20
No comments:
Post a Comment