MAKALAH
“ISLAM
DAN BUDAYA BANJAR”
Dosen Pengampu :
H.Muhammad Zaki
Mubarak, LC, MHI
Dosen Pengajar :
Akhmad Saihu,
S.Ag. M.Pd.I
Di Susun Oleh :
Heri
Norfitrianto NIM (2018110671)
Muhammad Amin
NIM (2018110672)
Ikbal Mubarak
NIM (2018110670)
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM
KANDANGAN
2018/2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN HALAMAN
1.
Latar Belakang.................................................................................. 1
2.
Rumusan Masalah............................................................................. 1
3.
Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
1.
Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan
selatan................. 2
2.
Sejarah Kesultanan Banjar.................................................................... 3
3.
Wilayah Kerajaan Banjar...................................................................... 4
4.
Raja-Raja Kerajaan Banjar................................................................... 4
5.
Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di
Kalimatan Selatan...... 5
6.
Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar............................... 5
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan....................................................................................... 15
2.
Kritik dan Saran................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebelum islam masuk ke
Indonesia, agama Hindu dan Budha telah berkembang luas di Nusantara ini. Di
samping banyaknya yang masih menganut animisme dan dinamisme. Kedua agama itu
kian lama kian pudar cahayanya dan akhirnya kedudukannya sepenuh diganti oleh
agama islam yang kemudian menjadi anutan hingga 95 persen rakyat Indonesia.
Sebab sangat pesat dan cepatnya tersiarnya islam di Indonesia antara lain
adalah dimana faktor agama islam (akidah, syariah, dan ahklak islam) sendiri
yang lebih banyak “berbicara” kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia
(penguasa, pedagang, petani, dan lain sebagainya).[1]
Para ulama awal yang
berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus
mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[2] kala
itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu. Jalur pertama yang
membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai
Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai[3].
Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin
menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami
pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan
menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa.
Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak
berdiri[4].
Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang
akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar,
salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Dengan Muhammad
‘Arsyad Al-Banjari kini kita sampai di Kalimantan selatan, suatu wilayah
perkembangan islam yang masih belum di telaah secara memadai. Seperti di
tempat-tempat lain di nusantara, telaah telaah islam di Kalimantan selama ini
terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan, bagaimana, dan
dari mana islam memasuki wilayah ini. Hampir tidak ada pembahasan mengenai
pertumbuhan lembaga-lembaga islam dan tradisi keilmuan dikalangan penduduk
Muslimnya. Mengingat hal ini, peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak bukan
hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan
bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta
memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan ?
2.
Bagaimana Sejarah Kesultanan Banjar ?
3.
Bagaimana Wilayah Kerajaan Banjar
?
4.
Bagaimana Raja-Raja Kerajaan Banjar ?
5.
Bagaimana Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan
Selatan ?
6.
Bagaiman Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar ?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan
2.
Mengetahui Sejarah Kesultanan Banjar
3.
Mengetahui Wilayah Kerajaan Banjar
4.
Mengetahui Raja-Raja Kerajaan Banjar
5.
Mengetahui Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan
Selatan
6.
Mengetahui Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar
BAB II
PEMBAHASAN
1. KEDATANGAN ISLAM DAN
PERKEMBANGANNYA DI KALIMANTAN SELATAN
Islam masuk ke selatan
Kalimantan sekitar abad ke-15 hasil dari kegiatan para mubaligh dari jawa,
terutamanya dari Sunan Giri dan kemudian Khatib Dayyan atau nama asalnya Sayyid
Abdul Rahman. Di sini terdapat sebuah kerajaan yang bernama Daha yang terletak
di daerah Banjar dan merupakan daerah taklukan Majapahit.[5] Namun
islam masuk kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding,
misalnya, Sumatra utara atau aceh. Islam mencapai momentumnya baru setelah
pasukan kesultanan demak di jawa datang kebanjarmasin untuk membantu pangeran
samudra dalam perjuangannya dengan kalangan elite istana kerajaan Daha. Setelah
kemenangannya, pangeran samudra beralih memeluk agama islam pada sekitar
936/1526 dan diangkat sebagai sultan pertama di kesultanan banjar. Dia di beri
gelar Sultan Suriah Syah atau surian Allah oleh seorang dai arab.[6] Dengan
berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi
negara.
Sebenarnya kemunculan
Kerajaan Banjar berkaitan rapat dengan peranan Pangeran Samudra dan Patih Masih
dua orang pemimpin besar yang sudah memeluk Islam. Apabila berlaku pertentangan
politik antara pangeran Tumenggung dengan pangeran samudra, Patih Mirih lalu
berpihak kepada pangeran samudera, bahkan di belakang mereka berdiri umat islam
Banjar serta mendapat bantuan ketenteraan dari kerajaan Demak di Jawa. Memang
sejak dahulu lagi rakyat Daha/Banjar sangat fanatic kepada Majapahit, tetapi
dengan kejatuhan Majapahit dan kebangkitan Demak lalu mereka memandang Demak
pula sebagai mercu-suar dan kebanggaan mereka.[7]
Di Kalimantan Selatan
terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya
Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan
negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang
diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara
awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya
Negara Dipa dan Negara Daha[8].menandai
zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan
terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang
disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan
Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya
kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam
sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan
Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak
perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya
Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan
bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Berbeda dengan Muhammad
Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis
mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman
Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas,
keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu
beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Namun demikian, kaum
muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk
Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk
secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak[9].
Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh
dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di
bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad
Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan
Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak
berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan
tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini
pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
1. SEJARAH KESULTANAN
BANJAR
Kemunculan Kerajaan
Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai kerajaan yang
berkuasa saat itu. Kerajaan banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang
beragama hindu[10] Tepatnya
pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha. menjelang akhir
kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang
bernama Raden Samudera.[11] Akan
tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu
Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran
Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan
merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudera sebagai
pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito.
Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang
melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu
pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota
banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang
yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi
Banjarmasin dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial
untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk
melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal
setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan ini
menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera[12].
Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasin, sebagai kekuatan politik
tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam
usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang
Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara
Daha
Setelah menjadi Raja di
Banjarmasin, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan
Kerajaan Demak.[13] Permintaan
bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak, dengan syarat Raden
Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat tersebut
disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang
dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasin, kontingen Demak bergabung
dengan pasukan dari Banjarmasin untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di
hulu sungai Barito. Setibanya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan
Banjarmasin dan Kontingen Demak bertemu dengan Pasukan Negara daha dan
pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu mufakat yang
isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel
itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan
kemenangan banjarmasin.
Setelah kemenangan
dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke Banjarmasin
dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk
Banjarmasin yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa
(kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah
pemerintahan Raden Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasin menyebabkan daerah
ini menjadi ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai
martapura[14],
menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan.
Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya
memeluk agama Islam. Pangeran Samudera sendiri, setelah masuk islam, siberi
nama Sultan Suryanullah atau suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama
dalam kerajaan Islam Banjar.[15]
Meski dengan berdirinya
kesultanan Banjar, islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama
Negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan
penduduk. Para pemeluk islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; islam
hanya mampu masuk secara perlahan kekalangan suku dayak. Bahkan dikalangan kaum
Muslim Melayu, kepatuhan kepada islam sangat minim dan tidak lebih dari
pengucapan syahadah.[16]
Kerajaan Banjar semakin
berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin bertambah. Kerajaan ini
pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama, dan
martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah
tanah laut, margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari
Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai
barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan
kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di sebelah
barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila
dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh
wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut membayar
pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan,
tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah
pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663.
4. RAJA-RAJA KERAJAAN
BANJAR
Kerajaan Banjar yang
berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan
keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan
pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah
raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad
Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu[17].
Sultan Suriansyah
sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan pusat
perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di
daerah manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian.
Berikut adalah rincian
Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya kerajaan
itu :
1) 1526 - 1545
: Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama
yang memeluk Islam
2) 1545 - 1570 : Sultan
Rahmatullah
3) 1570 - 1595 : Sultan
Hidayatullah
4) 1595 - 1620 : Sultan
Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan
inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin
yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
5) 1620 - 1637 : Ratu
Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
6) 1637 - 1642 : Ratu Anum
bergelar Sultan Saidullah
7) 1642 - 1660 : Adipati
Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah,
Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
8) 1660 - 1663
: Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran
Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan
ke Banjarmasin=
9) 1663 - 1679
: Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat
pemerintahan Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung
10) 1679 - 1700
: Sultan Tahlilullah berkuasa
11) 1700 - 1734
: Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
12) 1734 - 1759
: Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
13) 1759 - 1761
: Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
14) 1761 - 1801
: Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang
belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
15) 1801 - 1825
: Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
16) 1825 - 1857
: Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
17) 1857 - 1859
: Pangeran Tamjidillah
18) 1859 - 1862
: Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
19) 1862 - 1905
: Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar
Setelah dikalahkannya
Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905, praktis seluruh wilayah
Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh. Akan tetapi
semangat yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan
"haram manyarah waja sampai kaputing" benar-benar memberikan semangat
untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun akhirnya jatuh ke tangan belanda
juga, kita mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah mengorbankan
segalanya untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang
adalah bukti sejarah hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya.
Perang Banjarmasin ini
terjadi antara lain karena pengambil alihan daerah-daerah kekuasaan Kesultanan
oleh Belanda, dan campur tangan Belanda dalam pengangkatan pejabat tinggi
Kesultanan yang diangap melanggar adat kebiasaan. Sejak tahun 1787, satu
persatu wilayah kekusaan Kesultanan Banjarmasin diambil alih Belanda. Pada masa
pemerintahan sultan Adam Alwasih (1825-1857), wilayah kesultanan Banjarmasin
yang masih dikuasai oleh sultan hannyalah Hulu Sungai, Martapura, dan sebagaian
daerah inti banjar masin. Lebih dari itu, sejak tahun 1826, Belanda menuntut
hak ikut menentukan pengangkatan putra mahkota dan mangkubumi.[18]
5. PERAN ULAMA DAN
PEMBENTUKAN TRADISI INTELEKTUAL Di KALIMANTAN SELATAN
Ulama merupakan
penggerak utama dalam penyebaran agama islam di Nusantara. Ulama dianggap
sebagai penggerak karena pemikiran serta pendekatan yang dilakukan oleh
merekalah, maka Islam telah berkembang di Nusantara. Di samping itu, ulama juga
memahi psikologi masyarakat, sehingga kehadiran agama dalam tradisi dan budaya
masyarakat setempat tidak dianggap sebagai musuh yang menakutkan, tetapi hadir
dalam keramahan dan dapat diterima oleh mereka.
Adapun ulama yang
sangat berpengaruh dalam pembentukan tradisi intelektual di Kalimantan selatan
adalah Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari. peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak
bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada
kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga
islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan.
Sedangkan tokoh ulama yang ke dua adalah Muhammad Nafis b.Idrsir b. Husayn
Al-Banjari. Meski tidak mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupannya,
tidak di ragukan lagi, dia menempatkan urutan ke dua setelah Muhammad ‘Arsyad
dalam pengaruh yang dimainkannya atas Kaum Muslim Kalimantan, terutama dalam
bidang tasawuf. Jika Muhammad ‘Arsyad dikenal terutama sebagai ahli syariat,
Muhammad Nafis termashur sebagai ulama sufi karena kaitannya yang terkenal
berjudul Al-Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma wa Al-Shifat wa
Al-Dzat Al-Tagdis, yang beredar luas di Nusantara.[19]
1. Muhammad ‘Arsyad
Al-Banjari.
Ia adalah seorang ulama
paling terkenal dari Kalimantan. Ia dilahirkan di martaputra, Kalimantan
selatan, muhammad’arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya didesa
sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa surau
atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika dia
berumur tujuh tahun dia diriwayatkan bahwa ia telah mampu membaca Al-Qur’an
secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan
tahlil Allah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal
diistana sultan, dikemudian hari, sultan menikahnya dengan seorang wanita;
tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad ‘arsyad ke Haramayn
guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya kesultanan. Sultan tampaknya
mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad ;Arsyad bahkan mampu membeli sebuah
rumah didaerah Syamiyah, Makkah, yang masih di pertahankan para imigran Banjar
sampai waktu belakangan ini.[20]
dalam buku beberapa
aspek tentang islam di Indonesia abad ke-19 dijelaskan dari keluarga mana dia
berasal, tidak ada keterangan yang jelas. Tetapi menurut cerita rakyat, pada
usia yang agak muda- tujuh atau delapan tahun dia sudah termashur
kecerdasannya, sehingga sultan Banjar meminta kepada orang tuanya, untuk
mengasuh anak itu diistana, bersama dengan anak-anak dan cucu keluarga
kerajaan. Dan setelah dewasa Muhammad Arsyad dikawinkan oleh Siltan sendiri
dengan seorang perempuan, bernama bajut. Tetapi ketika istrinya sudah hamil,
atas permintaannya sendiri, Muh. Arsyad dikirim belajar ke makkah atas biaya
sultan. Sampai sekarang rumah yang disewanya di makkah, dikampung Syamiyah
masih dipelihara oleh Syekh yang berasal dari banjarmasin.[21]
Di Mekkah Muhammad
‘Arsyad mempelajari agama bersama-sama dengan beberapa tokoh abad ke-18 seperti
Al-Palimbani dan beberapa murid Melayu-Indonesia lainnya, tetapi jika
Al-Palimbani mempunyai sejumlah guru, namun guru-guru Muhammad ‘Arsyad yang
dikenal hanya Al-Sammani, Al-Damanhuri, Sulayman Al-Kurdi, dan Atha Allah
Al-Mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan guru-guru lain terutama dengan
Ibrahim Al-Rais Al-Zamzami, yang darinya Muhammad ‘Arsyad boleh jadi
mempelajari ‘ilm al-falak (astronomi), bidang yang menjadikannya
salah seorang ahli paling menonjol diantara ulama Melayu-Indonesia.
Pada akhir studinya di
Mekkah kepada Syekh Arsyad al-banjari di berikan izin untuk mengajar di
Masjidi’l Haram dan mengeluarkan fatwa. Yang dipersoalkan disana antara lain
adalah persoalan, apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang yang tidak
melaksanakan sholat jum’at dengan denda uang kepadanya. Persoalan ini kemudian
dimuat dalam kitab fatwa, karangan Syekh Sulaiman Kurdi.[22]
Mempertimbangkan
karya-karya dan kegiatan-kegiatannya setelah dia kembali ke Nusantara, kita
dapat berasumsi atau berangapan bahwa Muhammad ‘Arsyad adalah seorang ahli
dalam bidang fikih atau syariah, terutama karena adanya fakta bahwa bukunya
yang paling termashur yang berjudul Sabil Al-Muhtadinadalah buku
fikih. Tetapi ini tidak lantas berarti dia tidak menguasai ilmu tasawuf;
diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya yang berjudul kanz al-marifah,
yang membahas tentang tasawuf. Jadi, Muhammad’Arsyad mendapat keahlian dalam
ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu bathin (al-bathin), atau sepeti ditulis
steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf.[23] Muhammad
‘Arsyad menerima tarekat Sammaniyah dari Al-Sammani, dan dia dianggab sebagai
ulama paling bertangung jawab atas tersebarnya tarekat Sammanyah di Kalimantan.
Muhammad ‘Arsyad
belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima tahun di madinah sebelum
kembali ke Nusantara. Beberapa tahun sebelum ia kembali, diriwayatkan dia mulai
mengajar murid-murid di Al-Masjid Al-Haram, Makkah.[24] Namun,
Muhammad ‘Arsyad merasa belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama
dengan Al-Palimbani, Abd Al-Rahman Al-Batawi, dan Abd Al-wahhab Al-Bugisi dia
meminta izin guru mereka, Atha Allah Al-Mashri, untuk menambah pengetahuan di
kairo. Meski menghargai niat baik mereka, Atha Allah menyarankan jauh lebih
baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan
yang lebih cukup yang dapat mereka mamfaatkan untuk mengajarkan di tanah air.
Muhammad ‘Arsyad
bersama Abd Al-Rahman Al-Batawi Al-Mashri dan Abd Al-Wahhab Al-Bugisi kembali
ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum dia pergi ke Banjarmasin, atas permintaan
Al-Batawi, Muhammad ‘Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Meski dia
tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat dia mampu melancarkan
pembaruan penting bagi kaum Muslim Batavia. “Salah satunya ia sempat
memperbaiki arah kiblat Mesjid Jembatan Lima dengan mengunakan ilmu falaknya
(Astronomi).”[25]
Semangat pembaruan
dalam pribadi Muhammad ‘Arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan
lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke
Martaputra, Kalimantan selatan. Salah satu hal yang pertama dilakukannya
setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam yang
sangat penting untuk mendidik kaum Muslim guna meningkatkan pemahaman mereka
atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam. Untuk tujuan itu, Muhammad
‘Arsyad meminta sultan Tahmid Allah II (1187-1223/1773-1808) Memberinya
sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibu kota kesultanan. Dia dan Abd
Al-Wahhab Al-Bugisi, yang kini menikah dengan putrid Muhammad ‘Arsyad membangun
sebuah pusat pendidikan islam yang serupa cirri-cirinya dengan surau di Sumatra
Barat atau Pesantren di jawa.
Muhammad ‘Arsyad
mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan
jalan memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan Banjar. Disamping
menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam sebagai acuan terpenting dalam
pengadilan kriminal, Muahammad ‘Arsyad, dengan dukungan Sultan, mendirikan
pengadilan islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia
juga memprakarsai di perkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggung jawab
mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial[26].
Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan Hukum islam di
wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.
2.
Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari
Riwayat tokoh ulama sufi
ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa ulama ini adalah seorang
Banjar yang tinggal di ibu kota kerajaan Martapura. Ulama inilah yang menulis
tentang Asal Kejadian Nur Muhammad. Beliau lahir sekitar tahun 1618.
Ulama ini hidup pada masa pemerintahan Pangeran Tapesana (Adipati Halid)
sebagai wali raja, karena putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
Pangeran Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada
tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di
Jakarta.
3. Muhammad Nafis
Al-Banjari
Muhammad Nafis lahir
pada 1148/1735 di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Jadi, dia hidup
pada priode yang sama denga Muhammad ‘Arsyad. Tidak ada catatan mengenai tahun
kematiannya, meski di ketahui dia meninggal dunia dan di kuburkan di Kelua,
sebuah desa kira-kira 125 km dari Banjarmasin. Pendidikan awal Muhammad Nafis
tidak begitu jelas, tetapi kemungkinan besar dia diajari mengenai prinsip-prinsip
dasar Islam di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Di kemudian hari, kita dapati
dia belajar di Makkah, sebagaimana dia tuliskan dalam catatan pendahuluan bagi
Karyanya Al-Durr Al-Nafis:”… dia yang menulis risalah ini.. yaitu Muhammad
Al-Nafis b. ‘Idris b. Al-Husayn, yang dilahirkan di banjar dan hidup di
Makkah.” Tidak ada informasi tentang apakah dia belajar bersama Al-Palimbani,
Muhammad ‘Arsyad, dan rekan-rekan mereka yang telah di kemukakan sebelumnya,
tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramayn bersama dengan
masa belajar Al-Palimbani dan rekannya yang lain.
Muhammad Nafis di
berbagai tempat dalam Al-Durr Al-Nafismenyatakan ia belajar dengan
sejumlah ulama di Haramayn, yang paling terkenal diantaranya adalah Al-Sammani,
Muhammad Al-Jawhari, ‘Abd Allah b. Hijazi Al-Syargawi, Muhammad Shiddig b.
‘Umar Khan dan ‘Abd Al-Rahman b. Abd Al-Aziz Al-Maghribi. Muhammad Shiddiq b,
‘Umar Khan adalah murid Al-Sammani, dan Abd Al-Aziz Al-Maghribi, dan kelihatan
dia merupakan kawan dekat Al-Palimbani. Yang terakhir itu bahkan memasukan
judul beberapa karya Muhammad Shiddiq kedalam daftar karya-karya yang
disarankannya untuk dibaca calon kelana di jalan sufi.[27]
Telah di kemukakan
bahwa riwayat hidup Al-Sammani dan Muhammad Al-Jawhari, yang merupakan
guru-guru dan juga kawan-kawan Al-Palimbani, kenyataan bahwa Muhammad Nafis
belajar dengan Al-Sammani, Al-Jawhari, dan Muhammad Shiddiq menunjukan bahwa
dia benar-benar kawan seperguruan Al-Palimbani, Muhammad ‘Arsyad, dan
rekan-rekan Melayu Indonesia lainnya.
Sedangkan mengenai ‘Abd
Allah b. Hijazi (b. Ibrahimi) Al-Syargawi Al-AZHARI (1150-1227/1737-18120), dia
adalah syaikh Al-Islam dan syaikh Al-Azhar sejak 1207/1794. Al-Syargawi dua
tahun lebih muda dibanding dengan Muhammad Nafis, tetapi usianya sama sekali
bukan merupakan penghalang untuk belajar, mengingat kenyataandia merupakan
salah seorang ulama terkemuka dalam priode itu; sehingga ia dapat dipandang
menjadi salah seorang guru yang paling banyak di cari.
Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari
orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran tasahufnya. Namun tidak sehebat
tantangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani.
Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering
dibicarakan. Muhammad Nafis Al-Banjari, seperti kebanyakan ulama
Melayu-Indonesia, mengikuti mazhab Syafii dan doktrin teologi Asy’ari. Dia
berafiliasi dengan beberapa tarekat : Qadiryah, S syathariyah, Sammaniyah, Naqsyabandiyah, dan Khalwatiyah.[28] Muhammad
Nafis adalah ahli kalam dan tasawuf, karyanya, Durr Al-Nafis, menekankan
trasendensi mutlak dan keesaan Tuhan, menolak pendapat Jabariyah yang
mempertahankan determinisme fatalistic yang bertentangan dengan kehendakan
bebas (Qadaryah). Menurut pendapat Muhammad Nafis, kaum muslim harus berjuang
mencapai kehidupan yang lebih baik dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan
baik dan menghindari kejahatan. Jadi Muhammad Nafis jelas adalahpendukung
Aktivisme, salah satu dasar neo-sufisme. Dengan tekanan kuat pada aktivisme
Muslim, tidak mengherankan bukunya dilarang belanda, karena dikhawatirkan akan
mendorong kaum muslim melancarkan jihad.[29]
Oleh sebagina ulama ia
dianggap cenderung bersifat wihdatu ‘l-wujud atau panteistik. Syekh Muhammad
membagi empat tingkat tahwid, yaitu tawhidu’l-af’al (keesaan perbuatan),
tawhidu’l-asma (keesaan nama), tawhidu’l-sifat (keesaan sifat), dan
tawhidu’i-dzat (keesaan zat). Walau beberapa ulama melarang mempelajari buku
tersebut, tulisannya masih diajarkan dalam pengajian-pengajian di berbagai
daerah Indonesia dan Kawasan Melayu di Asia Tenggara.[30]
Tidak ada informasi
mengenai kapan Muhammad Nafis Al-Banjari kembali ke Nusantara. Tampaknya, dia
pergi langsung ke Kalimantan. Berbeda dengan Muhammad ‘Arsyad, yang menjadi
printis pusat pendidikan islam, Muhammad Nafis mencurahkan dirinya dalam usaha
melanjutkan penyebaran Islam di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Dia
benar-benar seorang guru sufi kelana yang khas, yang memainkan peranan penting
dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
4.
Syekh Abdul Hamid Abulung
Tidak banyak diketahui
tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa hidupnya adalah semasa dengan
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid
membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini.
Dalam pelajaran Syekh
Abdul Hamid juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit
dan belum sampai kepada hakikat. Ajaran ini pula merupakan hasil pengaruh
ajaran Abi Yazid al Busthami (874 M), Husein bin Mansur Al Halaj (858-922) yang
kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin dari
Sumatera dan Syekh Siti Jenar dari Jawa.
Tasawuf Sunni adalah
tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam
rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni
adalah Al Qur’an dan al Hadits dan di dalam amaliyahnya berpedoman kepada
amaliyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.
Salah satu pokok ajarannya ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh
Imam Asy’ari dan Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan
mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah tiga aspek dari ajaran Islam yang
tidak terpisah dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya secara harmonis
dan diamalkan secara terpadu.
Faham Wahdatul Wujud
menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu menjadi satu,
tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah
ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia)
seperti yang selalu dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kata
hulul yang diajarkan dan dipertahankan oleh Husein bin Mansyur Al
Hallaj.
Kalau Syekh Ahmad
Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak diketahui,
sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan tempatnya, maka makam
Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas tempatnya. Beliau dimakamkan di desa
Abulung-Sungai Batang Martapura-Kabupaten Banjar.
5. Khatib Dayan
Khatib Dayan merupakan
figur yang berjasa memberi warna terbentuknya masyarakat Islam di kerajaan
Banjar. Makamnya bersisian dengan Sultan Suriansyah di Kuin Utara Banjarmasin.
Siapa Khatib Dayan sesungguhnya?
Siapa Khatib Dayan?
Menurut Arthum Artha, wartawan yang juga penulis buku tentang budaya dan
sejarah Banjar, Khatib Dayan adalah Sayyid Abdurrahman. Menurut orang Jawa dan
Babad Banjar, kata dia, ditulis Ngabdulrahman Penatagama. Abdurrahman, sangat
setia kepada Sultan Suriansyah. Dialah yang selalu mendampingi raja. Sedang
menurut Amir Hasan Kiai Bondan (Suluh Sedjarah Kalimantan, 1957), pemuka Banjar
lainnya yang berperan dalam syiar Islam adalah Haji Batu. Haji Batu (Syekh
Abdul Malik) menjadi pembantu Khatib Dayan dalam mengislamkan penduduk dalam
lingkungan kerajaan Banjar.
Ia datang ke Kerajaan
Banjar pada tahun 1521 untuk mengislamkan Raden Samudera (Sultan Suriansyah)
beserta sejumlah kerabat kerajaan, berdasarkan perjanjian semasa terjadi
pertentangan antara Kerajaan Negara Daha dengan Kerajaan Banjar.[31]
Pengislaman ini bukan hanya terbatas pada wilayah kerajaan Banjar saja (seperti
daerah aliran sungai Nagara yang meliputi sungai Tabalong, sungai Batang
Balangan, sungai Batang Alai, sungai Labuan Amas, sungai Amandit dan sungai
Tapin), namun juga ke wilayah taklukan di seluruh wilayah pesisir selatan pulau
Kalimantan hingga pesisir timur dari Sambas di barat hingga Bulungan di Utara,
Beberapa utusan Demak yang sebagian kerabat walisongo telah mendarat di
Kotawaringin dan Paser.[32]
Profil dan Silsilah
Menurut babad Jawa dan
babad Banjar, Khatib Dayan sangat setia kepada Sultan Suriansyah. Dialah yang
selalu mendampingi raja. Bahkan ia menikahi salah satu puteri Sultan
Suriansyah.
Khatib Dayan tidak
hanya seorang ulama besar tapi ia juga adalah seorang komandan perang. Dengan
bantuan Khatib Dayan penguasa kerajaan Banjar Sultan Suriansyah menyebarkan
Islam ke berbagai penjuru wilayah kekuasaannya.
Menurut versi Kuin,
Khatib Dayan merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati, pendiri keraton
Cirebon yang bernama asli Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati sendiri adalah
salah satu Wali Songo yang bertugas di Cirebon dan merupakan keturunan dari
Muhammad Shahib Mirbath. Muhammmad Shahib Mirbath ini adalah keturunan generasi
ke-16 dari Nabi Muhammad .[33]
Ia merupakan figur yang
berjasa memberi warna terbentuknya masyarakat Islam di kerajaan Banjar. Hal ini
terlihat pada arsitektur Masjid Jami Martapura (sekarang Masjid Agung
al-Karomah Martapura) yang mengadopsi gaya arsitektur Masjid Demak.
Makamnya bersisian
dengan Sultan Suriansyah di Kuin Utara Banjarmasin.
Silsilah Syarif
Hidayatullah (keturunan ke-24) tersambung dari orangtuanya Abdullah bin Ali
Nurul Alam bin Jamaluddin Husin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Khan bin
Abdul Malik bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Gunung Jati,
memiliki putra bernama Sultan Hasanudin (Sultan Banten I). Khatib Dayyan,
menurut sumber Kuin, merupakan buyut dari Sultan Hasanudin. Ayah dari Khatib
Dayan adalah Sultan Maulana Ahmad (Cirebon) bin Sultan Yusuf (Cirebon) bin
Sultan Hasanudin. “Khatib Dayan kawin dengan seorang anak Sultan Suriansyah.
Dari perkawinan itu lahir Khatib Hamid yang tinggal di Kuin Utara,” ujar
Syarif, warga Kuin. Khatib Hamid menurunkan anak cucu yang juga berprofesi
sebagai Khatib. Putranya yang bernama Khatib Muhidin memiliki anak yang juga
meneruskan jabatan sebagai Khatib yakni Jamain. Aly.
Pengurus Makam Sultan
Suriansyah, H Burhan, menyebutkan Khatib Dayan adalah orang Demak yang
mengislamkan Sultan Suriansyah. Khatib Dayan tdak cuma ulama besar tapi juga
komandan perang. Dengan bantuan Khatib Dayan penguasa kerajaan Banjar Sultan
Suriansyah menyebarkan Islam ke berbagai penjuru wilayah kekuasaannya.[34]
Menurut versi Kuin, Khatib Dayan merupakan keturunan dari Sunan Gunung
Jati. Pendiri keraton Cirebon ini aslinya bernama Syarif Hidayatullah. Sunan
Gunung Jati, yang dikenal sebagai salah satu Wali Songo yang bertugas di
Cirebon merupakan keturunan dari waliyullah Muhammad Shahib Mirbath. Muhammmad
Shahib Mirbath adalah keturunan generasi ke-16 dari Nabi Muhammad SAW.
6. KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Suara beliau
sangatlah khas nan merdu. Beliau merupakan perintis pembacaan Maulid
Simtuddurar atau yang biasa dikenal dengan sebutan Maulid Habsyi di Pulau
Borneo. Beliau merupakan satu diantara ulama kharismatik yang bukan hanya
dihormati oleh umat, bahkan para ulama dan pejabat pun menghormati sosok
beliau.
Beliau adalah Tuan Guru KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang biasa disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul. Beliau merupakan sekian dari “permata” yang berada di Martapura Kalimantan Selatan. Al’alimul ‘allamah Al’arif Billah As-Syeikh Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah putra dari Al-‘arif Billah Abdul Ghani putra Haji Abdul Manaf putra Muhammad Seman putra Haji Muhammad Sa’ad putra Haji Abdullah putra Al’alimul ‘alamah Mufti Khalid putra Al’alimul ‘allamah Khalifah Haji Hasanuddin putra Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Beliau dilahirkan di malam Rabu 27 Muharram 1361 H. bertepatan dengan 11 Februari 1942 M di Desa Tunggulirang Seberang, Martapura.
Beliau adalah Tuan Guru KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang biasa disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul. Beliau merupakan sekian dari “permata” yang berada di Martapura Kalimantan Selatan. Al’alimul ‘allamah Al’arif Billah As-Syeikh Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah putra dari Al-‘arif Billah Abdul Ghani putra Haji Abdul Manaf putra Muhammad Seman putra Haji Muhammad Sa’ad putra Haji Abdullah putra Al’alimul ‘alamah Mufti Khalid putra Al’alimul ‘allamah Khalifah Haji Hasanuddin putra Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Beliau dilahirkan di malam Rabu 27 Muharram 1361 H. bertepatan dengan 11 Februari 1942 M di Desa Tunggulirang Seberang, Martapura.
Ketika
beliau tinggal di Desa Tunggulirang beliau tidak menyusu kepada ibu beliau,
tetapi hanya mengisap air liur Al’arif Billah H. Abdurrahman atau Haji Adu
hingga kenyang selama empat puluh hari. Sewaktu kecil beliau diberi nama Qusyairi.
Semenjak kecil beliau merupakan salah seorang anak yang terpelihara (mahfuzh),
sifat pembawaan beliau dari kecil yang lain dari yang lain diantaranya adalah
beliau tidak pernah bermimpi basah (ihtilam). Sedari kecil beliau selalu berada disamping
kedua orang tua dan nenek beliau yang bernama Salbiah. Beliau dipelihara dengan
penuh kasih sayang dan berdisiplin dalam pendidikan agama. Sejak dini oleh
kedua orang tua dan nenek beliau sudah ditanamkan nilai-nilai ketauhidan dan
akhlak yang mulia dan penanaman nilai-nilai Qur’ani dengan mengajari beliau
al-Qur’an. Abdul Ghani
putra Abdul Manaf, ayah dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani juga adalah seorang
pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat
dengan menyembunyikan cerita dan cobaan, tidak pernah mengeluh kepada siapapun.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah, sewaktu kecil beliau sekeluarga yang
terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji
telur dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh.
Pada
masa-masa itu juga ayahanda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa
teh, ayahanda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada
beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk
keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, setiap keuntungan dagang itu
mereka bagi menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga,
sepertiga untuk menambah modal usaha dan sepertiganya lagi untuk disumbangkan. Meski dari
keluarga dengan ekonomi yang kurang memadai, namun mereka selalu memperhatikan
pendidikan anaknya dengan membantu guru-gurunya meski dengan bantuan ala
kadarnya. Setiap berangkat mengaji, beliau (KH. Muhammad Zaini) selalu dibekali
dengan sebotol kecil minyak tanah yang diberikan kepada guru beliau, salah
satunya adalah kepada Guru Muhammad Hasan, Pasayangan, guru yang mengajari
beliau al-Qur’an. Di usia
kurang dari tujuh tahun beliau dimasukkan untuk bersekolah di madrasah di
Kampung Keraton, Martapura, selama dua tahun dan meneruskan ke jenjang
selanjutnya di Madrasah Darussalam Martapura hingga selesai.
1.
Guru-Guru KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
1. Tingkat
Tahdhiri/Ibtidai di Keraton:
2. Guru
Muhammad Zaini Umar
3. Guru Abdul
Mu’iz
2. Tingkat
Tahdhiri/Ibtidai Madrasah Darussalam:
1. Guru
Sulaiman
2. Guru H. Abdul
Hamid Husein
3. Guru H.
Mahalli Abdul Qadir
4. Guru
Muhammad Zain
5. Guru H.
Rafi’i
6. Guru Syahran
3.
Pada tingkat Tsanawiyah dan Aliyah Pondok
Pesantren Darussalam:
1. KH. Husein
Dahlan
2. KH. Salman
Yusuf
3. KH. Sya’rani
Arif
4. KH. Husein
Qadri
5. KH. Salim
Ma’ruf
6. KH. Seman Mulia
7. KH. Salman
Abdul Jalil
4.
Guru dalam ilmu tajwid
1. KH. Sya’rani
Arif
2. Qari dan
Hafizh H. Nashrun Thahir
3. Qari dan
Hafizh H. Aini, Kandangan
4. Guru dalam
Tasawwuf dan Suluk
5. KH. Muhammad
Syarwani Abdan
6. Kiyai Falak,
Bogor
7. Quthb Syeikh
Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
5.
Sanad-sanad dalam ilmu thariqat dan berbagai
ilmu yang diperoleh dari:
1.
Quthb Syeikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
2.
Quthb Syeikh Sayyid Abdul Qadir al-Barr
3.
Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
4.
Syeikh Hassan Masysyath
5.
Syeikh Muhammad Yasin, Padang
6.
Kiyai Falak, Bogor
7.
Syeikh Ismail Zein Yasin al-Yamani
6.
Guru pertama secara ruhani atau mimpi:
1. Al’alimul’allamah
Ali Junaidi Berau bin Al’alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin
Al’alimul’allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
2. Al’alimul’allamah
H. Muhammad Syarwani Abdan; kemudian beliau menyerahkan kepada Kiyai Falak yang
kemudian beliau serahkan kepada al’alimul’allamah Al-‘arif Billah As-Syeikh
Quthb As-Sayyid Muhammad Amin Kutbi, kemudian beliau serahkan kepada Syeikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang selanjutnya dipimpin langsung oleh Rasulullah
Saw.
Atas saran KH. Ali Junaidi, Berau beliau dianjurkan untuk belajar kepada KH.Muhammad, Desa Gadung, Rantau putra dari Syeikh Salman al-Farisi putra Qadhi H. Mahmud putra Asiah putri Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari untuk mempelajari ilmu tentang “Nur Muhammad”.
Atas saran KH. Ali Junaidi, Berau beliau dianjurkan untuk belajar kepada KH.Muhammad, Desa Gadung, Rantau putra dari Syeikh Salman al-Farisi putra Qadhi H. Mahmud putra Asiah putri Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari untuk mempelajari ilmu tentang “Nur Muhammad”.
A. Perjalanan Hidup dan Sifat-Sifat Mulia KH.
Muhammad Zaini Abdul Ghani
1.
Karunia
Allah Swt
Dalam usia
kurang sepuluh tahun beliau sudah mendapat keistimewaan dan anugerah berupa
kasyaf hisyi yaitu dapat mengetahui dan mendengar apa yang berada di dalam
sesuatu dan yang tersembunyi dan terdinding. Suatu ketika beliau berjalan-jalan
di hutan, rerumputan memberi beliau salam dan menyebutkan kegunaannya untuk
pengobatan dan berbagai khasiat lainnya. Begitu pula dengan bebatuan dan besi,
namun semuanya itu tidak diperhatikan beliau karena beliau anggap hanya sebagai
cobaan dan ujian. Kurang lebih pada usia yang sama pada malam jum’at
beliau bermimpi melihat sebuah bahtera (kapal) besar yang turun dari langit dan
di muka kapal itu terdapat pintu masuk dan terdapat seorang penjaga seorang
lelaki berjubah putih dan di pintunya tertulis Safinatul Awliya (Bahtera para
Wali Allah). Tatkala beliau berusaha masuk ke dalam kapal, beliau dihalau
penjaganya hingga tersungkur dan beliau pun langsung terbangun. Malam jum’at
berikutnya mimpi tersebut terulang kembali hingga pada malam jum’at ketiga
beliau bermimpikan yang sama dan beliau diperkenankan masuk ke dalam bahtera
tersebut dan disambut oleh seorang syeikh dan di dalamnya beliau melihat banyak
kursi yang kosong. Setelah beberapa lama atau sekitar puluhan tahun ketika
beliau beranjak dewasa dan menuntut ilmu ke tanah jawa ternyata orang yang
menyambut beliau dan menjadi guru beliau yang pertama adalah orang yang menyambut
beliau dalam mimpi tersebut.
2.
Akhlak mulia
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Sejak kecil
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani hidup di tengah keluarga yang saleh dalam
didikan orang tua dan bimbingan paman beliau KH. Seman Mulia, sehingga
betul-betul tertanam dalam lubuk hati beliau sifat-sifat mulia, sabar, ridha,
pasrah, kasih sayang, tidak pemarah, pemurah, sehingga apapun yang terjadi
terhadap diri beliau, beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua
sekalipun beliau pernah dipukul oleh orang yang dengki kepada beliau.
3.
Seorang yang
mencintai alim ulama
Beliau
adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan ulama dan orang saleh, hal
ini tampak sejak beliau masih kecil. Di masa kecil beliau selalu menunggu di
jalan di mana biasanya KH. Zainal Ilmi lewat pada hari tertentu ketika hendak
ke Banjarmasin, hanya untuk bersalaman dan mencium tangan KH. Zainal
Ilmi.
4.
Petunjuk
Allah Swt
Di masa remaja
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani pernah bermimpi bertemu dengan Sayyidina Hasan
dan Sayyidina Husin dua cucu Rasulullah Saw dan keduanya masing-masing
membawakan pakaian dan memakaikannya kepada beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul
Ghani) dilengkapi dengan surban dan berbagai pakaian lainnya dan ketika itu
beliau diberi gelar “Zainal ‘Abidin” (Perhiasan Para Ahli Ibadah). Sesudah
dewasa tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal.Banyak orang
yang datang belajar kepada beliau. Para habaib senior, ulama, guru bahkan guru
yang pernah mengajar beliau sekalipun. Beliau adalah seorang ulama yang
mengumpulkan antara syariat, thariqat dan hakikat. Beliau pun adalah seorang
yang hafal al-Qur’an serta tafsirnya, yaitu tafsir al-Jalalain.
5.
Sangat sayang
kepada orang tua dan keluarga serta bimbingan sang paman yang sangat
berpengaruh
Pendidikan
yang diberikan oleh paman beliau KH. Seman Mulia sangat berpengaruh dalam
dirinya, selain mengajar beliau di sekolah paman beliau juga membawa beliau
kepada ulama-ulama lainnya yang mempunyai keahlian khusus dan mengantar beliau
langsung baik di Kalimantan maupun di luar Kalimantan, untuk mendalami tafsir
dan hadits, beliau dibawa kepada As-Syeikh H. Sya’rani Arif sekalipun KH. Seman
Mulia sebagai pagar semua bidang keilmuan namun sifat rendah hati beliau
(tawadhu) itulah yang tertanam dalam diri beliau yang memberi pengaruh pada
diri KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani.
Pernah suatu ketika beliau ingin bermain seperti anak-anak lainnya, beliau bersama teman yang biasa menemani beliau, pergi ke pasar. Namun apa yang terjadi ketika tiba di pintu gerbang pasar beliau melihat paman beliau dan menyuruh untuk pulang sedang teman beliau itu tidak melihat adanya sang paman. Dan beliau pun langsung pulang ke rumah.
Beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) adalah seorang yang amat berbakti kepada kedua orang tua serta paman beliau. Sehingga suatu ketika mereka sakit sedikitpun beliau tidak pernah meninggalkan meski beliau sendiri dalam keadaan sakit.
Pernah suatu ketika beliau ingin bermain seperti anak-anak lainnya, beliau bersama teman yang biasa menemani beliau, pergi ke pasar. Namun apa yang terjadi ketika tiba di pintu gerbang pasar beliau melihat paman beliau dan menyuruh untuk pulang sedang teman beliau itu tidak melihat adanya sang paman. Dan beliau pun langsung pulang ke rumah.
Beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) adalah seorang yang amat berbakti kepada kedua orang tua serta paman beliau. Sehingga suatu ketika mereka sakit sedikitpun beliau tidak pernah meninggalkan meski beliau sendiri dalam keadaan sakit.
6.
Keturunan
(Zurriyat) Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Beliau
adalah seorang ulama keturunan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang
menghidupkan kembali amalan dan thariqat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
7.
Seorang
ulama yang selalu di rindukan
Sifat lemah
lembut, kasih sayang, ramah tamah, tidak pemarah dan pemurah sangat tampak pada
diri beliau sehingga beliau sangat disenangi oleh segenap orang, sahabat serta
murid beliau. Salah satu sifat beliau yang sangat mulia adalah kalau ada orang
yang tidak senang melihat keadaan beliau dan member kritikan kepada beliau,
maka beliau tidak membalasnya. Semua tamu-tamu yang bertandang ke rumah beliau
selalu diberi jamuan serta berbagai nasehat yang berguna.
8.
Kegiatan
pengajian yang selalu ramai
Pada
hari-hari pengajian sekalipun tidak diundang, murid-murid yang mengikuti
pengajian beliau tidak kurang dari puluhan ribu orang yang datang dari berbagai
penjuru daerah di Kalimantan Selatan dan dari daerah lainnya. Itu adalah karena
semata-mata karunia Allah Swt yang diberikan kepada beliau dan menjadikan
beliau sebagai seorang ulama “waratsatul anbiya” dan Allah telah tentukan beliau
seorang yang alim lagi mulia.[35]
B.
Ajaran Agama
dan Keramat KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
1.
Ulama yang berakhlak al-Qur’an Beliau
adalah seorang yang mempunyai prinsip dalam berjihad itu benar-benar
mencerminkan apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an, misalnya seperti beliau
akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya da’wah Islamiyah atau membesarkan
(memuliakan) syi’ar Islam, maka sebelum beliau pergi ke tempat tersebut lebih
dahulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian
baru beliau datang. Jadi beliau benar-benar berjihad dengan harta lebih dahulu
kemudian baru dengan badan dalam arti kata mengamalkan atau melaksanakan
perintah al-Qur’an.
Yangberbunyi:
“Dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu
di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”. (QS. at-Taubat: 41)
2.
Satu-satunya ulama yang mendapatkan izin mengijazahkan
Thariqat “As-Sammaniyah”
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya ulama di Kalimantan bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan thariqat “As-Sammaniyah”. Karena itu banyak yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan bahkan yang datang dari Jawa dan daerah lainnya.
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya ulama di Kalimantan bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan thariqat “As-Sammaniyah”. Karena itu banyak yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan bahkan yang datang dari Jawa dan daerah lainnya.
3.
Ulama yang sangat berpengaruh dalam
pengembangkan pendidikan agama Islam di Kalimantan Selatan
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang zuriat Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengikuti jejak Datuk beliau yang asalnya tinggal di Keraton kemudian pindah membuka perkampungan baru di Dalampagar dan mengembangkan pendidikan agama di Dalampagar; maka beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) pun pindah pula dari Keraton ke Sekumpul membuka Komplek perumahan yang dikenal dengan Komplek Ar-Raudah atau Dalam Regol, yang kemudian meluas ke sekelilingnya sehingga terbentuklah Gang Taufiq dan Gang Mahabbah dan lainnya. Di Sekumpul Komplek Ar-Raudah inilah KH. Muhammad Zaini mendidik para anak murid atau jamaah dalam meningkatkan iman, ilmu dan amal serta taqwa kepada Allah Swt yang dilengkapi dengan sarana ibadah (seperti Mushalla dan berbagai perlengkapannya).
Di Mushalla Ar-Raudah inilah beliau mengajar dan membawa jama’ah dalam beribadat mengamalkan apa yang dikaji atau diajarkan beliau, sehingga kata “kaji dan gawi” sangat jelas kelihatan dalam proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan beliau.
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang zuriat Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengikuti jejak Datuk beliau yang asalnya tinggal di Keraton kemudian pindah membuka perkampungan baru di Dalampagar dan mengembangkan pendidikan agama di Dalampagar; maka beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) pun pindah pula dari Keraton ke Sekumpul membuka Komplek perumahan yang dikenal dengan Komplek Ar-Raudah atau Dalam Regol, yang kemudian meluas ke sekelilingnya sehingga terbentuklah Gang Taufiq dan Gang Mahabbah dan lainnya. Di Sekumpul Komplek Ar-Raudah inilah KH. Muhammad Zaini mendidik para anak murid atau jamaah dalam meningkatkan iman, ilmu dan amal serta taqwa kepada Allah Swt yang dilengkapi dengan sarana ibadah (seperti Mushalla dan berbagai perlengkapannya).
Di Mushalla Ar-Raudah inilah beliau mengajar dan membawa jama’ah dalam beribadat mengamalkan apa yang dikaji atau diajarkan beliau, sehingga kata “kaji dan gawi” sangat jelas kelihatan dalam proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan beliau.
4.
Memunculkan buah rambutan pada saat belum
musimnya
Ketika beliau masih tinggal di Keraton dimana biasanya setelah selesai pengajian atau pembacaan Maulid, beliau berbincang-bincang dengan beberapa orang murid yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dahulu, yang isinya untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita buah rambutan yang pada waktu itu masih belum musimnya, dengan tiada disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangan ke belakang dan kemudian tampak di tangan beliau satu biji buah rambutan masak yang kemudian buah rambutan tersebut langsung beliau makan.
Ketika beliau masih tinggal di Keraton dimana biasanya setelah selesai pengajian atau pembacaan Maulid, beliau berbincang-bincang dengan beberapa orang murid yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dahulu, yang isinya untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita buah rambutan yang pada waktu itu masih belum musimnya, dengan tiada disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangan ke belakang dan kemudian tampak di tangan beliau satu biji buah rambutan masak yang kemudian buah rambutan tersebut langsung beliau makan.
5.
Meminta Kepada Allah Swt Menurunkan Hujan
Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap hujan akan segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta do’a agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang berada di dekat rumah beliau. Setelah memanjatkan doa’ kepada Allah Swt dan bertawassul kepada Baginda Rasulullah Saw lalu beliau goyang-goyangkan pohon pisang tersebut dan tidak lama kemudian hujanpun turun dengan derasnya.
Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap hujan akan segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta do’a agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang berada di dekat rumah beliau. Setelah memanjatkan doa’ kepada Allah Swt dan bertawassul kepada Baginda Rasulullah Saw lalu beliau goyang-goyangkan pohon pisang tersebut dan tidak lama kemudian hujanpun turun dengan derasnya.
6.
Air doa KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Banyak orang yang menderita sakit seperti batu ginjal, usus membusuk, anak yang tertelan jarum/peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal di dalam perut ibunya, yang semuanya itu menurut keterangan dokter harus di operasi, namun keluarga mereka meminta doa dan pertolongan kepada KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, maka dengan air yang beliau berikan semuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa operasi. Masih banyak keramat dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Yang tersebut di atas hanya sebagian dari sekian banyaknya keramat beliau yang di tulis oleh penulis. Memang keramat ini sangat sulit untuk akal sehat kita menerimanya,namun itulah kekuasaan Allah Swt yang ditunjukkan dan diberikan kepada seorang hamba yang dikasihi-Nya.[36]
Banyak orang yang menderita sakit seperti batu ginjal, usus membusuk, anak yang tertelan jarum/peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal di dalam perut ibunya, yang semuanya itu menurut keterangan dokter harus di operasi, namun keluarga mereka meminta doa dan pertolongan kepada KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, maka dengan air yang beliau berikan semuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa operasi. Masih banyak keramat dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Yang tersebut di atas hanya sebagian dari sekian banyaknya keramat beliau yang di tulis oleh penulis. Memang keramat ini sangat sulit untuk akal sehat kita menerimanya,namun itulah kekuasaan Allah Swt yang ditunjukkan dan diberikan kepada seorang hamba yang dikasihi-Nya.[36]
C. KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani sebagai Seorang
Pemimpin Keluarga dan Umat Islam Kalimantan Selatan
1.
Seorang yang adil lagi bijaksana KH. Muhammad
Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang adil lagi bijaksana dalam memimpin
dan mengayomi masyarakat dan keluarga, terutama terhadap isteri-isteri beliau
yang berjumlah beberapa orang dalam satu rumah sehingga kesemuanya tampak
keharmonisan dalam keluarga baik dibidang mental maupun spiritual. Dari
isteri-isteri beliau tersebut satu diantaranya telah melahirkan dua orang
putera atau anak sebagai penyambung generasi atau zuriat yang bernama Muhammad
Amin Badali dan Ahmad
Hafi Badali.
2.
Berdakwah dengan lemah lembut dan kasih sayang KH. Muhammad
Zaini Abdul Ghani adalah seorang tokoh ulama zuriat Syeikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari yang hidup dipenghujung abad kedua puluh yang disenangi oleh segenap
lapisan masyarakat bahkan dikalangan pemerintahan. Ini terlihat dari majelis
pengajian beliau yang dikunjungi oleh puluhan ribu kaum muslimin disetiap hari
Kamis sore sampai malam Jum’at dan hari Ahad sore sampai malam Senin yang
datang dari berbagai penjuru daerah Kalimantan Selatan. Dan pada hari Sabtu
pagi khusus disediakan untuk ibu-ibu kaum muslimat. Beliau adalah seorang ulama yang ramah dan
kasih sayang terhadap setiap orang, terutama kepada anak murid beliau sendiri,
karenanya beliau tidak segan-segan menegur apabila melihat hal-hal yang
dianggap salah atau tidak tepat, hal ini semata-mata adalah karena kasih
sayangnya beliau terhadap umat Nabi Muhammad Saw. Karena itu beliau sering
menyerukan dengan ungkapan arti kata kota “Martapura”, menurut beliau adalah:
“Marilah Taqwa Para Umat Rasulullah”.
D. Karya-Karya KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Beberapa hasil karya tulis KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, antara lain:
Beberapa hasil karya tulis KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, antara lain:
1.
Risalah Mubarakah dalam bahasa Arab
2.
Manakib Asy-Syeikh Muhammad Samman al-Madani
dalam bahasa Arab
3.
Ar-Risalat an-Nuraniyyah fi Syarh at-Tawassulat
as-Sammaniyah, dalam bahasa Arab
4.
Nubzat min Manaqib al Imam al-Masyhur bil
Ustadz al A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alwi dalam bahasa Arab
E. Pesan-Pesan KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Pesan-pesan yang sering disampaikan beliau dalam pengajian adalah:
Pesan-pesan yang sering disampaikan beliau dalam pengajian adalah:
1.
Jangan bakhil (yakni hendaklah jadi orang yang
pemurah), karena sifat bakhil adalah sifat madzmumah yang paling bandel dan
tidak akan keluar sebelum sifat-sifat madzmumah lainnya keluar. Dan apabila
keluar sifat bakhil ini berarti sifat-sifat madzmumah lainnya sudah keluar
lebih dahulu. Dan sering beliau ucapkan bahwa di pintu surga tertulis: “Anti
haramun ‘ala kulli bakhilin” (maksudnya pintu surga dilarang/haram dimasuki
orang bakhil).
2.
Jangan tertipu dengan karamah/keramat (yakni
dengan segala keganjilan dan keanehan), karena keramat itu adalah anugerah dan
pemberian Allah Swt kepada hamba-Nya bukan karena suatu kepandaian atau
keahlian, karena itu janganlah terlintas atau berniat untuk mendapatkan keramat
dengan melakukan ibadah atau membaca wirid karena keramat yang mulia dan tinggi
nilainya adalah istiqamah di dalam ibadah.
3.
Kaji dan gawi maksudnya tuntut ilmu kemudian
amalkan.
Selain beberapa pesan di atas, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani juga memberi beberapa poin wasiat bagi warga Kalimantan Selatan dalam menghadapi keterpurukan dan krisis akhlak pada zaman sekarang ini.[37]
Selain beberapa pesan di atas, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani juga memberi beberapa poin wasiat bagi warga Kalimantan Selatan dalam menghadapi keterpurukan dan krisis akhlak pada zaman sekarang ini.[37]
F.
Beberapa
poin wasiat tersebut adalah:
1.
Selalu berpegang teguh kepada Allah Swt dan
Baginda Rasulullah Saw
2.
Menghormati serta menjunjung tinggi kedua orang
tua dan para ulama
3.
Berbaik sangka terhadap sesama muslim
4.
Murah Hati
5.
Murah harta
6.
Manis muka
7.
Jangan pernah menyakiti orang lain
8.
Mudah memaafkan kesalahan orang lain
9.
Jangan saling bermusuh-musuhan
10.
Jangan tamak, rakus dan serakah
11.
Selalu yakin keselamatan itu kepada kebenaran
12.
Jangan merasa baik daripada orang lain
13.
Tiap-tiap orang yang iri, dengki, atau mau
mengadu domba jangan dilayani, serahkan saja kepada Allah Swt. Wasiat ini ditulis beliau sekitar 20 tahun
lalu, tepatnya pada 11 Jumadil Akhir 1413 H. meski wasiat ini ditulis dalam
bahasa sederhana, namun makna yang terkandung di dalamnya sangatlah
mendalam.
G.
Akhir
Hayat KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Di
penghujung usia, beliau menderita penyakit berat yang sulit disembuhkan, hingga
terakhir beliau dirawat di
sebuah rumah sakit di luar negeri, sebuah negara tetangga. Dengan tenaga yang
tersisa beliau pulang ke
rumah dan tiba pada pukul 20.30 WITA Selasa malam 4 Rajab 1426 H. keesokan
harinya pada pukul 05.10 WITA pagi Rabu 5 Rajab 1426 H atau lebih tepatnya 10
Agustus 2005 M. beliau pergi meninggalkan kita semua memenuhi panggilan
Allah Swt. Jasad beliau dikebumikan di Pemakaman al Mahya yang berada dalam kompleks ar-Raudhah dan
disamping Mushalla ar-Raudhah tepatnya di samping makam paman beliau KH. Seman Mulia[38]
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam masuk
kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding, misalnya, Sumatra
utara atau aceh. Diperkirakan, telah ada sejumlah Muslim di wilayah itu sejak
awal abad ke-16. Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga
abad ke-18. Raden Samudra merupakan Raja pertama yang beragama Islam di
Kesultanan Banjar, dengan gelar Sultan Suriansyah. Dalam menyebarkan agama Islam,
di Kalimantan selatan, tidak lepas dari peran para ulama. Ulama yang berperan
dalam penyebaran agama Islam dikalimantan selatan yaitu Muhammad ‘Arsyad
Al-Banjari dan Muhammad Al-Banjari. Kerajaan Banjar mengalami keruntuhan saat
kerajaan Banjar jatuh ketangan belanda pada tahun 1905, yang pada saat itu
dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman. Peran Muhammad Arsyad al-Banjari: 1. Sebagai
orang yang gigih dalam menuntut ilmu sampai ke
Mekkah dan Madinah 2. Sebagai pengarang Kitab
Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama
Islam di Asia Tenggara. 3
Mensyiarkan
Islam sampai ke Asia Tenggara. kehadiran dan wacana yang dibicarakan dalam
Kitab Hikayat Nur Muhammad, baik langsung ataupun tidak langsung telah
memberikan pengaruh yang kuat terhadap kehidupan dan pemikiran masyarakat atau
ulama Banjar generasi berikutnya. Terlihat bahwa, pelbagai kitab tasawuf yang
dihasilkan kemudian oleh ulama Banjar, tampaknya memiliki keterikatan dan
bahkan boleh dikatakan sebagai kesinambungan dari Kitab Hikayat Nur Muhammad.
Kitab-kitab tersebut terus menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam
memahami tasawuf. Bahkan, pengajian tasawuf yang secara khusus membicarakan
tentang Nur Muhammad juga berjalan secara berterusan.
B.
Kritik dan Saran
Tidak ada yang sempurna
didunia ini kecuali ciptaan-Nya. Apalagi manusia tidak ada daya apa-apa untuk
menciptakan sesuatu. Demikian juga dengan karya ilmiah ini yang jauh dari
kesempurnaan. Penulis harap karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
telah membantu dan para pembaca. Kritik dan saran senantiasa saya terima demi
penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
renaisan islam asia tenggara : sejarah wacana dan kekuasaan,
Bandung: Remaja Rosda, 1999.
Azra, Azyumardi., “jaringan
ulama timur tenggah dan kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII”. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. 2007
Badri Yatim, Sejarah
Peradapan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Endang Saifuddin
Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan
Sistem Islam, (Jakarta; gema insane,2004).
B – BYTE, Ensiklopedia
Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004)
Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19,
Jakarta; bulan bintang, 1984.
“Muhammad Nafis
Al-Banjari’, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama,
1987/8,II.
Dr. Helmiati, M.Ag, “Dinamika
Islam Asia Tenggara”, Suska Press, Pekanbaru. 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar
http://noenkcahyana.blogspot.com/2010/11/sufi-dan-ilmu-tasawuf.html
http://www.docstoc.com/docs/21549584/Proses-Islamisasi-dan-Perkembangan-Islam-di-Indonesia---artikel
Idhank Vieya (18
Januari 2013). "Kisah Khatib Dayan".
Sejarah Kompasiana (11
Juli 2013). "Datu Palajau Tokoh Penyebar Islam di Alai Barabai".
Kabar
Banjarmasin.Khatib Dayan Pendamping Sultan.
Daudi, Abu, 2006, Al’alimul’alamah Al’arif
Billah As-Syeikh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani, Martapura: Yapida.
Barjie, Ahmad. 2012. Mengenang Ulama dan Tokoh
Banjar. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
El-Rahman, Taufik. 2012. Tanah Banjar:
Intelektualisme Tak Pernah Mati!. Landasan Ulin: Penakita Publisher.
Pustaka Basma, Tim. 2012. 3 Permata Ulama dari
Tanah Banjar. Malang: Pustaka Basma
No comments:
Post a Comment