Wikipedia

Search results

Tuesday, April 9, 2019

tokoh penyebar agama islam di tanah banjar


MAKALAH
“ISLAM DAN BUDAYA BANJAR”
TOKOH-TOKOH PENYEBAR AGAMA ISLAM DI TANAH BANJAR

Dosen Pengampu :
H.Muhammad Zaki Mubarak, LC, MHI

Dosen Pengajar :
Akhmad Saihu, S.Ag. M.Pd.I

Di Susun Oleh :
Heri Norfitrianto NIM (2018110671)
Muhammad Amin NIM (2018110672)
Ikbal Mubarak NIM (2018110670)







PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM
KANDANGAN
2018/2019





DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN                                                                   HALAMAN
1.      Latar Belakang.................................................................................. 1
2.      Rumusan Masalah............................................................................. 1
3.      Tujuan Penulisan.............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
1.      Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan................. 2
2.      Sejarah Kesultanan Banjar.................................................................... 3
3.      Wilayah Kerajaan Banjar...................................................................... 4
4.      Raja-Raja Kerajaan Banjar................................................................... 4
5.      Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan Selatan...... 5
6.      Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar............................... 5

BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan....................................................................................... 15
2.      Kritik dan Saran................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Sebelum islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Budha telah berkembang luas di Nusantara ini. Di samping banyaknya yang masih menganut animisme dan dinamisme. Kedua agama itu kian lama kian pudar cahayanya dan akhirnya kedudukannya sepenuh diganti oleh agama islam yang kemudian menjadi anutan hingga 95 persen rakyat Indonesia. Sebab sangat pesat dan cepatnya tersiarnya islam di Indonesia antara lain adalah dimana faktor agama islam (akidah, syariah, dan ahklak islam) sendiri yang lebih banyak “berbicara” kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia (penguasa, pedagang, petani, dan lain sebagainya).[1]
Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[2]  kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu. Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai[3]. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri[4]. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Dengan Muhammad  ‘Arsyad Al-Banjari  kini kita sampai di Kalimantan selatan, suatu wilayah perkembangan islam yang masih belum di telaah secara memadai. Seperti di tempat-tempat lain di nusantara, telaah telaah islam di Kalimantan selama ini terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan, bagaimana, dan dari mana islam memasuki wilayah ini. Hampir tidak ada pembahasan mengenai pertumbuhan lembaga-lembaga islam dan tradisi keilmuan dikalangan penduduk Muslimnya. Mengingat hal ini, peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan.

B.      RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan ?
2.       Bagaimana Sejarah Kesultanan Banjar ?
3.       Bagaimana Wilayah Kerajaan Banjar  ?
4.       Bagaimana Raja-Raja Kerajaan Banjar ?
5.       Bagaimana Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan Selatan ?
6.       Bagaiman Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar ?
C.      TUJUAN PENULISAN
1.       Mengetahui Kedatangan islam dan perkembangannya di Kalimantan selatan
2.       Mengetahui Sejarah Kesultanan Banjar
3.       Mengetahui Wilayah Kerajaan Banjar
4.       Mengetahui Raja-Raja Kerajaan Banjar
5.       Mengetahui Peran Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual Di Kalimatan Selatan
6.       Mengetahui Tokoh-Tokoh Ulama Penyebar Islam di Tanah Banjar
BAB II
PEMBAHASAN

1.       KEDATANGAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA DI KALIMANTAN SELATAN
Islam masuk ke selatan Kalimantan sekitar abad ke-15 hasil dari kegiatan para mubaligh dari jawa, terutamanya dari Sunan Giri dan kemudian Khatib Dayyan atau nama asalnya Sayyid Abdul Rahman. Di sini terdapat sebuah kerajaan yang bernama Daha yang terletak di daerah Banjar dan merupakan daerah taklukan Majapahit.[5] Namun islam masuk kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding, misalnya, Sumatra utara atau aceh. Islam mencapai momentumnya baru setelah pasukan kesultanan demak di jawa datang kebanjarmasin untuk membantu pangeran samudra dalam perjuangannya dengan kalangan elite istana kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, pangeran samudra beralih memeluk agama islam pada sekitar 936/1526 dan diangkat sebagai sultan pertama di kesultanan banjar. Dia di beri gelar Sultan Suriah Syah atau surian Allah oleh seorang dai arab.[6] Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
Sebenarnya kemunculan Kerajaan Banjar berkaitan rapat dengan peranan Pangeran Samudra dan Patih Masih dua orang pemimpin besar yang sudah memeluk Islam. Apabila berlaku pertentangan politik antara pangeran Tumenggung dengan pangeran samudra, Patih Mirih lalu berpihak kepada pangeran samudera, bahkan di belakang mereka berdiri umat islam Banjar serta mendapat bantuan ketenteraan dari kerajaan Demak di Jawa. Memang sejak dahulu lagi rakyat Daha/Banjar sangat fanatic kepada Majapahit, tetapi dengan kejatuhan Majapahit dan kebangkitan Demak lalu mereka memandang Demak pula sebagai mercu-suar dan kebanggaan mereka.[7]
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha[8].menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak[9]. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

1.       SEJARAH KESULTANAN BANJAR
Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Kerajaan banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama hindu[10] Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha.  menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera.[11] Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi Banjarmasin dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera[12]. Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasin, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara Daha
Setelah menjadi Raja di Banjarmasin, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan Kerajaan Demak.[13] Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasin, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari Banjarmasin untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Banjarmasin dan Kontingen Demak bertemu dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan banjarmasin.
Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke Banjarmasin dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk Banjarmasin yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa (kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasin menyebabkan daerah ini menjadi ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura[14], menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan. Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya memeluk agama Islam. Pangeran Samudera sendiri, setelah masuk islam, siberi nama Sultan Suryanullah atau suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar.[15]
Meski dengan berdirinya kesultanan Banjar, islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama Negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; islam hanya mampu masuk secara perlahan kekalangan suku dayak. Bahkan dikalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada islam sangat minim dan tidak lebih dari pengucapan syahadah.[16]

3.       WILAYAH KERAJAAN BANJAR
Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama, dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah tanah laut, margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663.

4.       RAJA-RAJA KERAJAAN BANJAR

Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu[17].
Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian.

Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya kerajaan itu :
1)       1526 - 1545 : Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
2)       1545 - 1570 : Sultan Rahmatullah
3)       1570 - 1595 : Sultan Hidayatullah
4)       1595 - 1620 : Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
5)       1620 - 1637 : Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
6)       1637 - 1642 : Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
7)       1642 - 1660 : Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
8)       1660 - 1663 : Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin=
9)       1663 - 1679 : Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung
10)   1679 - 1700 : Sultan Tahlilullah berkuasa
11)   1700 - 1734 : Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
12)   1734 - 1759 : Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
13)   1759 - 1761 : Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
14)   1761 - 1801 : Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
15)   1801 - 1825 : Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
16)   1825 - 1857 : Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
17)   1857 - 1859 : Pangeran Tamjidillah
18)   1859 - 1862 : Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
19)   1862 - 1905 : Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar

Setelah dikalahkannya Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905, praktis seluruh wilayah Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh. Akan tetapi semangat yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan "haram manyarah waja sampai kaputing" benar-benar memberikan semangat untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun akhirnya jatuh ke tangan belanda juga, kita mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah mengorbankan segalanya untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang adalah bukti sejarah hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya.
Perang Banjarmasin ini terjadi antara lain karena pengambil alihan daerah-daerah kekuasaan Kesultanan oleh Belanda, dan campur tangan Belanda dalam pengangkatan pejabat tinggi Kesultanan yang diangap melanggar adat kebiasaan. Sejak tahun 1787, satu persatu wilayah kekusaan Kesultanan Banjarmasin diambil alih Belanda. Pada masa pemerintahan sultan Adam Alwasih (1825-1857), wilayah kesultanan Banjarmasin yang masih dikuasai oleh sultan hannyalah Hulu Sungai, Martapura, dan sebagaian daerah inti banjar masin. Lebih dari itu, sejak tahun 1826, Belanda menuntut hak ikut menentukan pengangkatan putra mahkota dan mangkubumi.[18]

5.       PERAN ULAMA DAN PEMBENTUKAN TRADISI INTELEKTUAL Di KALIMANTAN SELATAN

Ulama merupakan penggerak utama dalam penyebaran agama islam di Nusantara. Ulama dianggap sebagai penggerak karena pemikiran serta pendekatan yang dilakukan oleh merekalah, maka Islam telah berkembang di Nusantara. Di samping itu, ulama juga memahi psikologi masyarakat, sehingga kehadiran agama dalam tradisi dan budaya masyarakat setempat tidak dianggap sebagai musuh yang menakutkan, tetapi hadir dalam keramahan dan dapat diterima oleh mereka.
Adapun ulama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan tradisi intelektual di Kalimantan selatan adalah Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari. peranan penting Muhammad ‘Arsyad terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru Kalimantan selatan. Sedangkan tokoh ulama yang ke dua adalah Muhammad Nafis b.Idrsir b. Husayn Al-Banjari. Meski tidak mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupannya, tidak di ragukan lagi, dia menempatkan urutan ke dua setelah Muhammad ‘Arsyad dalam pengaruh yang dimainkannya atas Kaum Muslim Kalimantan, terutama dalam bidang tasawuf. Jika Muhammad ‘Arsyad dikenal terutama sebagai ahli syariat, Muhammad Nafis termashur sebagai ulama sufi karena kaitannya yang terkenal berjudul Al-Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Tagdis, yang beredar luas di Nusantara.[19]

1.       Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari.

Ia adalah seorang ulama paling terkenal dari Kalimantan. Ia dilahirkan di martaputra, Kalimantan selatan, muhammad’arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya didesa sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa surau atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika dia berumur tujuh tahun dia diriwayatkan bahwa ia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan tahlil Allah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal diistana sultan, dikemudian hari, sultan menikahnya dengan seorang wanita; tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad ‘arsyad ke Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya kesultanan. Sultan tampaknya mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad ;Arsyad bahkan mampu membeli sebuah rumah didaerah Syamiyah, Makkah, yang masih di pertahankan para imigran Banjar sampai waktu belakangan ini.[20]
dalam buku beberapa aspek tentang islam di Indonesia abad ke-19 dijelaskan dari keluarga mana dia berasal, tidak ada keterangan yang jelas. Tetapi menurut cerita rakyat, pada usia yang agak muda- tujuh atau delapan tahun dia sudah termashur kecerdasannya, sehingga sultan Banjar meminta kepada orang tuanya, untuk mengasuh anak itu diistana, bersama dengan anak-anak dan cucu keluarga kerajaan. Dan setelah dewasa Muhammad Arsyad dikawinkan oleh Siltan sendiri dengan seorang perempuan, bernama bajut. Tetapi ketika istrinya sudah hamil, atas permintaannya sendiri, Muh. Arsyad dikirim belajar ke makkah atas biaya sultan. Sampai sekarang rumah yang disewanya di makkah, dikampung Syamiyah masih dipelihara oleh Syekh yang berasal dari banjarmasin.[21]
Di Mekkah Muhammad ‘Arsyad mempelajari agama bersama-sama dengan beberapa tokoh abad ke-18 seperti Al-Palimbani dan beberapa murid Melayu-Indonesia lainnya, tetapi jika Al-Palimbani mempunyai sejumlah guru, namun guru-guru Muhammad ‘Arsyad yang dikenal hanya Al-Sammani, Al-Damanhuri, Sulayman Al-Kurdi, dan Atha Allah Al-Mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan guru-guru lain terutama dengan Ibrahim Al-Rais Al-Zamzami, yang darinya Muhammad ‘Arsyad boleh jadi mempelajari ‘ilm al-falak (astronomi), bidang yang menjadikannya salah seorang ahli paling menonjol diantara ulama Melayu-Indonesia.
Pada akhir studinya di Mekkah kepada Syekh Arsyad al-banjari di berikan izin untuk mengajar di Masjidi’l Haram dan mengeluarkan fatwa. Yang dipersoalkan disana antara lain adalah persoalan, apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang yang tidak melaksanakan sholat jum’at dengan denda uang kepadanya. Persoalan ini kemudian dimuat dalam kitab fatwa, karangan Syekh Sulaiman Kurdi.[22]
Mempertimbangkan karya-karya dan kegiatan-kegiatannya setelah dia kembali ke Nusantara, kita dapat berasumsi atau berangapan bahwa Muhammad ‘Arsyad adalah seorang ahli dalam bidang fikih atau syariah, terutama karena adanya fakta bahwa bukunya yang paling termashur yang berjudul Sabil Al-Muhtadinadalah buku fikih. Tetapi ini tidak lantas berarti dia tidak menguasai ilmu tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya yang berjudul kanz al-marifah, yang membahas tentang tasawuf. Jadi, Muhammad’Arsyad mendapat keahlian dalam ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu bathin (al-bathin), atau sepeti ditulis steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf.[23] Muhammad ‘Arsyad menerima tarekat Sammaniyah dari Al-Sammani, dan dia dianggab sebagai ulama paling bertangung jawab atas tersebarnya tarekat Sammanyah di Kalimantan.
Muhammad ‘Arsyad belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima tahun di madinah sebelum kembali ke Nusantara. Beberapa tahun sebelum ia kembali, diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di Al-Masjid Al-Haram, Makkah.[24] Namun, Muhammad ‘Arsyad merasa belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama dengan Al-Palimbani, Abd Al-Rahman Al-Batawi, dan Abd Al-wahhab Al-Bugisi dia meminta izin guru mereka, Atha Allah Al-Mashri, untuk menambah pengetahuan di kairo. Meski menghargai niat baik mereka, Atha Allah menyarankan jauh lebih baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih cukup yang dapat mereka mamfaatkan untuk mengajarkan di tanah air.
Muhammad ‘Arsyad bersama Abd Al-Rahman Al-Batawi Al-Mashri dan Abd Al-Wahhab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum dia pergi ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad ‘Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat dia mampu melancarkan pembaruan penting bagi kaum Muslim Batavia. “Salah satunya ia sempat memperbaiki arah kiblat Mesjid Jembatan Lima dengan mengunakan ilmu falaknya (Astronomi).”[25]
Semangat pembaruan dalam pribadi Muhammad ‘Arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke Martaputra, Kalimantan selatan. Salah satu hal yang pertama dilakukannya setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam yang sangat penting untuk mendidik kaum Muslim guna meningkatkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam. Untuk tujuan itu, Muhammad ‘Arsyad meminta sultan Tahmid Allah II (1187-1223/1773-1808) Memberinya sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibu kota kesultanan. Dia dan Abd Al-Wahhab Al-Bugisi, yang kini menikah dengan putrid Muhammad ‘Arsyad membangun sebuah pusat pendidikan islam yang serupa cirri-cirinya dengan surau di Sumatra Barat atau Pesantren di jawa.
Muhammad ‘Arsyad mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan Banjar. Disamping menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, Muahammad ‘Arsyad, dengan dukungan Sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai di perkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial[26]. Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan Hukum islam di wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.

2.       Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari

Riwayat tokoh ulama sufi ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa ulama ini adalah seorang Banjar yang tinggal di ibu kota kerajaan Martapura. Ulama inilah yang menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad.  Beliau lahir sekitar tahun 1618. Ulama ini hidup pada masa pemerintahan Pangeran Tapesana (Adipati Halid) sebagai wali raja, karena putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa. Pangeran Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di Jakarta.

3.       Muhammad Nafis Al-Banjari

Muhammad Nafis lahir pada 1148/1735 di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Jadi, dia hidup pada priode yang sama denga Muhammad ‘Arsyad. Tidak ada catatan mengenai tahun kematiannya, meski di ketahui dia meninggal dunia dan di kuburkan di Kelua, sebuah desa kira-kira 125 km dari Banjarmasin. Pendidikan awal Muhammad Nafis tidak begitu jelas, tetapi kemungkinan besar dia diajari mengenai prinsip-prinsip dasar Islam di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Di kemudian hari, kita dapati dia belajar di Makkah, sebagaimana dia tuliskan dalam catatan pendahuluan bagi Karyanya Al-Durr Al-Nafis:”… dia yang menulis risalah ini.. yaitu Muhammad Al-Nafis b. ‘Idris b. Al-Husayn, yang dilahirkan di banjar dan hidup di Makkah.” Tidak ada informasi tentang apakah dia belajar bersama Al-Palimbani, Muhammad ‘Arsyad, dan rekan-rekan mereka yang telah di kemukakan sebelumnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramayn bersama dengan masa belajar Al-Palimbani dan rekannya yang lain.
Muhammad Nafis di berbagai tempat dalam Al-Durr Al-Nafismenyatakan ia belajar dengan sejumlah ulama di Haramayn, yang paling terkenal diantaranya adalah Al-Sammani, Muhammad Al-Jawhari, ‘Abd Allah b. Hijazi Al-Syargawi, Muhammad Shiddig b. ‘Umar Khan dan ‘Abd Al-Rahman b. Abd Al-Aziz Al-Maghribi. Muhammad Shiddiq b, ‘Umar Khan adalah murid Al-Sammani, dan Abd Al-Aziz Al-Maghribi, dan kelihatan dia merupakan kawan dekat Al-Palimbani. Yang terakhir itu bahkan memasukan judul beberapa karya Muhammad Shiddiq kedalam daftar karya-karya yang disarankannya untuk dibaca calon kelana di jalan sufi.[27]
Telah di kemukakan bahwa riwayat hidup Al-Sammani dan Muhammad Al-Jawhari, yang merupakan guru-guru dan juga kawan-kawan Al-Palimbani, kenyataan bahwa Muhammad Nafis belajar dengan Al-Sammani, Al-Jawhari, dan Muhammad Shiddiq menunjukan bahwa dia benar-benar kawan seperguruan Al-Palimbani, Muhammad ‘Arsyad, dan rekan-rekan Melayu Indonesia lainnya.
Sedangkan mengenai ‘Abd Allah b. Hijazi (b. Ibrahimi) Al-Syargawi Al-AZHARI (1150-1227/1737-18120), dia adalah syaikh Al-Islam dan syaikh Al-Azhar sejak 1207/1794. Al-Syargawi dua tahun lebih muda dibanding dengan Muhammad Nafis, tetapi usianya sama sekali bukan merupakan penghalang untuk belajar, mengingat kenyataandia merupakan salah seorang ulama terkemuka dalam priode itu; sehingga ia dapat dipandang menjadi salah seorang guru yang paling banyak di cari.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran tasahufnya. Namun tidak sehebat tantangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan.  Muhammad Nafis Al-Banjari, seperti kebanyakan ulama Melayu-Indonesia, mengikuti mazhab Syafii dan doktrin teologi Asy’ari. Dia berafiliasi dengan beberapa tarekat : Qadiryah, S syathariyah, Sammaniyah, Naqsyabandiyah, dan Khalwatiyah.[28] Muhammad Nafis adalah ahli kalam dan tasawuf, karyanya, Durr Al-Nafis, menekankan trasendensi mutlak dan keesaan Tuhan, menolak pendapat Jabariyah yang mempertahankan determinisme fatalistic yang bertentangan dengan kehendakan bebas (Qadaryah). Menurut pendapat Muhammad Nafis, kaum muslim harus berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari kejahatan. Jadi Muhammad Nafis jelas adalahpendukung Aktivisme, salah satu dasar neo-sufisme. Dengan tekanan kuat pada aktivisme Muslim, tidak mengherankan bukunya dilarang belanda, karena dikhawatirkan akan mendorong kaum muslim melancarkan jihad.[29]
Oleh sebagina ulama ia dianggap cenderung bersifat wihdatu ‘l-wujud atau panteistik. Syekh Muhammad membagi empat tingkat tahwid, yaitu tawhidu’l-af’al (keesaan perbuatan), tawhidu’l-asma (keesaan nama), tawhidu’l-sifat (keesaan sifat), dan tawhidu’i-dzat (keesaan zat). Walau beberapa ulama melarang mempelajari buku tersebut, tulisannya masih diajarkan dalam pengajian-pengajian di berbagai daerah Indonesia dan Kawasan Melayu di Asia Tenggara.[30]
Tidak ada informasi mengenai kapan Muhammad Nafis Al-Banjari kembali ke Nusantara. Tampaknya, dia pergi langsung ke Kalimantan. Berbeda dengan Muhammad ‘Arsyad, yang menjadi printis pusat pendidikan islam, Muhammad Nafis mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran Islam di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Dia benar-benar seorang guru sufi kelana yang khas, yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

4.       Syekh Abdul Hamid Abulung

Tidak banyak diketahui tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa hidupnya adalah semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini.
Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat. Ajaran ini pula merupakan hasil pengaruh ajaran Abi Yazid al Busthami (874 M), Husein bin Mansur Al Halaj (858-922) yang kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin dari Sumatera dan Syekh Siti Jenar dari Jawa.
Tasawuf Sunni adalah tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni adalah Al Qur’an dan al Hadits dan di dalam amaliyahnya berpedoman kepada amaliyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Salah satu pokok ajarannya ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah tiga aspek dari ajaran Islam yang tidak terpisah dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya secara harmonis dan diamalkan secara terpadu.
Faham Wahdatul Wujud menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu menjadi satu, tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia) seperti yang selalu dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kata hulul  yang  diajarkan dan dipertahankan oleh Husein bin Mansyur Al Hallaj.
Kalau Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak diketahui, sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan tempatnya, maka makam Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas tempatnya. Beliau dimakamkan di desa Abulung-Sungai Batang Martapura-Kabupaten Banjar.

5.       Khatib Dayan

Khatib Dayan merupakan figur yang berjasa memberi warna terbentuknya masyarakat Islam di kerajaan Banjar. Makamnya bersisian dengan Sultan Suriansyah di Kuin Utara Banjarmasin. Siapa Khatib Dayan sesungguhnya?
Siapa Khatib Dayan? Menurut Arthum Artha, wartawan yang juga penulis buku tentang budaya dan sejarah Banjar, Khatib Dayan adalah Sayyid Abdurrahman. Menurut orang Jawa dan Babad Banjar, kata dia, ditulis Ngabdulrahman Penatagama. Abdurrahman, sangat setia kepada Sultan Suriansyah. Dialah yang selalu mendampingi raja. Sedang menurut Amir Hasan Kiai Bondan (Suluh Sedjarah Kalimantan, 1957), pemuka Banjar lainnya yang berperan dalam syiar Islam adalah Haji Batu. Haji Batu (Syekh Abdul Malik) menjadi pembantu Khatib Dayan dalam mengislamkan penduduk dalam lingkungan kerajaan Banjar.
Ia datang ke Kerajaan Banjar pada tahun 1521 untuk mengislamkan Raden Samudera (Sultan Suriansyah) beserta sejumlah kerabat kerajaan, berdasarkan perjanjian semasa terjadi pertentangan antara Kerajaan Negara Daha dengan Kerajaan Banjar.[31] Pengislaman ini bukan hanya terbatas pada wilayah kerajaan Banjar saja (seperti daerah aliran sungai Nagara yang meliputi sungai Tabalong, sungai Batang Balangan, sungai Batang Alai, sungai Labuan Amas, sungai Amandit dan sungai Tapin), namun juga ke wilayah taklukan di seluruh wilayah pesisir selatan pulau Kalimantan hingga pesisir timur dari Sambas di barat hingga Bulungan di Utara, Beberapa utusan Demak yang sebagian kerabat walisongo telah mendarat di Kotawaringin dan Paser.[32]
Profil dan Silsilah
Menurut babad Jawa dan babad Banjar, Khatib Dayan sangat setia kepada Sultan Suriansyah. Dialah yang selalu mendampingi raja. Bahkan ia menikahi salah satu puteri Sultan Suriansyah.
Khatib Dayan tidak hanya seorang ulama besar tapi ia juga adalah seorang komandan perang. Dengan bantuan Khatib Dayan penguasa kerajaan Banjar Sultan Suriansyah menyebarkan Islam ke berbagai penjuru wilayah kekuasaannya.
Menurut versi Kuin, Khatib Dayan merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati, pendiri keraton Cirebon yang bernama asli Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati sendiri adalah salah satu Wali Songo yang bertugas di Cirebon dan merupakan keturunan dari Muhammad Shahib Mirbath. Muhammmad Shahib Mirbath ini adalah keturunan generasi ke-16 dari Nabi Muhammad  .[33]
Ia merupakan figur yang berjasa memberi warna terbentuknya masyarakat Islam di kerajaan Banjar. Hal ini terlihat pada arsitektur Masjid Jami Martapura (sekarang Masjid Agung al-Karomah Martapura) yang mengadopsi gaya arsitektur Masjid Demak.
Makamnya bersisian dengan Sultan Suriansyah di Kuin Utara Banjarmasin.
Silsilah Syarif Hidayatullah (keturunan ke-24) tersambung dari orangtuanya Abdullah bin Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Husin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Gunung Jati, memiliki putra bernama Sultan Hasanudin (Sultan Banten I). Khatib Dayyan, menurut sumber Kuin, merupakan buyut dari Sultan Hasanudin. Ayah dari Khatib Dayan adalah Sultan Maulana Ahmad (Cirebon) bin Sultan Yusuf (Cirebon) bin Sultan Hasanudin. “Khatib Dayan kawin dengan seorang anak Sultan Suriansyah. Dari perkawinan itu lahir Khatib Hamid yang tinggal di Kuin Utara,” ujar Syarif, warga Kuin. Khatib Hamid menurunkan anak cucu yang juga berprofesi sebagai Khatib. Putranya yang bernama Khatib Muhidin memiliki anak yang juga meneruskan jabatan sebagai Khatib yakni Jamain. Aly.
Pengurus Makam Sultan Suriansyah, H Burhan, menyebutkan Khatib Dayan adalah orang Demak yang mengislamkan Sultan Suriansyah. Khatib Dayan tdak cuma ulama besar tapi juga komandan perang. Dengan bantuan Khatib Dayan penguasa kerajaan Banjar Sultan Suriansyah menyebarkan Islam ke berbagai penjuru wilayah kekuasaannya.[34] Menurut versi Kuin, Khatib Dayan merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati. Pendiri keraton Cirebon ini aslinya bernama Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati, yang dikenal sebagai salah satu Wali Songo yang bertugas di Cirebon merupakan keturunan dari waliyullah Muhammad Shahib Mirbath. Muhammmad Shahib Mirbath adalah keturunan generasi ke-16 dari Nabi Muhammad SAW.

6.       KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Suara beliau sangatlah khas nan merdu. Beliau merupakan perintis pembacaan Maulid Simtuddurar atau yang biasa dikenal dengan sebutan Maulid Habsyi di Pulau Borneo. Beliau merupakan satu diantara ulama kharismatik yang bukan hanya dihormati oleh umat, bahkan para ulama dan pejabat pun menghormati sosok beliau.
Beliau adalah Tuan Guru KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang biasa disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul. Beliau merupakan sekian dari “permata” yang berada di Martapura Kalimantan Selatan. Al’alimul ‘allamah Al’arif Billah As-Syeikh Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah putra dari Al-‘arif Billah Abdul Ghani putra Haji Abdul Manaf putra Muhammad Seman putra Haji Muhammad Sa’ad putra Haji Abdullah putra Al’alimul ‘alamah Mufti Khalid putra Al’alimul ‘allamah Khalifah Haji Hasanuddin putra Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Beliau dilahirkan di malam Rabu 27 Muharram 1361 H. bertepatan dengan 11 Februari 1942 M di Desa Tunggulirang Seberang, Martapura.
Ketika beliau tinggal di Desa Tunggulirang beliau tidak menyusu kepada ibu beliau, tetapi hanya mengisap air liur Al’arif Billah H. Abdurrahman atau Haji Adu hingga kenyang selama empat puluh hari. Sewaktu kecil beliau diberi nama Qusyairi. Semenjak kecil beliau merupakan salah seorang anak yang terpelihara (mahfuzh), sifat pembawaan beliau dari kecil yang lain dari yang lain diantaranya adalah beliau tidak pernah bermimpi basah (ihtilam). Sedari kecil beliau selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek beliau yang bernama Salbiah. Beliau dipelihara dengan penuh kasih sayang dan berdisiplin dalam pendidikan agama. Sejak dini oleh kedua orang tua dan nenek beliau sudah ditanamkan nilai-nilai ketauhidan dan akhlak yang mulia dan penanaman nilai-nilai Qur’ani dengan mengajari beliau al-Qur’an.  Abdul Ghani putra Abdul Manaf, ayah dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani juga adalah seorang pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan cerita dan cobaan, tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah, sewaktu kecil beliau sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh.
Pada masa-masa itu juga ayahanda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahanda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha dan sepertiganya lagi untuk disumbangkan. Meski dari keluarga dengan ekonomi yang kurang memadai, namun mereka selalu memperhatikan pendidikan anaknya dengan membantu guru-gurunya meski dengan bantuan ala kadarnya. Setiap berangkat mengaji, beliau (KH. Muhammad Zaini) selalu dibekali dengan sebotol kecil minyak tanah yang diberikan kepada guru beliau, salah satunya adalah kepada Guru Muhammad Hasan, Pasayangan, guru yang mengajari beliau al-Qur’an. Di usia kurang dari tujuh tahun beliau dimasukkan untuk bersekolah di madrasah di Kampung Keraton, Martapura, selama dua tahun dan meneruskan ke jenjang selanjutnya di Madrasah Darussalam Martapura hingga selesai. 
1.       Guru-Guru KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
1.       Tingkat Tahdhiri/Ibtidai di Keraton:
2.       Guru Muhammad Zaini Umar
3.       Guru Abdul Mu’iz
2.       Tingkat Tahdhiri/Ibtidai Madrasah Darussalam:
1.       Guru Sulaiman
2.       Guru H. Abdul Hamid Husein
3.       Guru H. Mahalli Abdul Qadir
4.       Guru Muhammad Zain
5.       Guru H. Rafi’i
6.       Guru Syahran
3.       Pada tingkat Tsanawiyah dan Aliyah Pondok Pesantren Darussalam:
1.       KH. Husein Dahlan
2.       KH. Salman Yusuf
3.       KH. Sya’rani Arif
4.       KH. Husein Qadri
5.       KH. Salim Ma’ruf
6.       KH. Seman Mulia
7.       KH. Salman Abdul Jalil
4.       Guru dalam ilmu tajwid
1.       KH. Sya’rani Arif
2.       Qari dan Hafizh H. Nashrun Thahir
3.       Qari dan Hafizh H. Aini, Kandangan
4.       Guru dalam Tasawwuf dan Suluk
5.       KH. Muhammad Syarwani Abdan
6.       Kiyai Falak, Bogor
7.       Quthb Syeikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
5.       Sanad-sanad dalam ilmu thariqat dan berbagai ilmu yang diperoleh dari:
1.       Quthb Syeikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
2.       Quthb Syeikh Sayyid Abdul Qadir al-Barr
3.       Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
4.       Syeikh Hassan Masysyath
5.       Syeikh Muhammad Yasin, Padang
6.       Kiyai Falak, Bogor
7.       Syeikh Ismail Zein Yasin al-Yamani 
6.       Guru pertama secara ruhani atau mimpi:
1.       Al’alimul’allamah Ali Junaidi Berau bin Al’alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin Al’alimul’allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
2.       Al’alimul’allamah H. Muhammad Syarwani Abdan; kemudian beliau menyerahkan kepada Kiyai Falak yang kemudian beliau serahkan kepada al’alimul’allamah Al-‘arif Billah As-Syeikh Quthb As-Sayyid Muhammad Amin Kutbi, kemudian beliau serahkan kepada Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang selanjutnya dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw.
Atas saran KH. Ali Junaidi, Berau beliau dianjurkan untuk belajar kepada KH
.Muhammad, Desa Gadung, Rantau putra dari Syeikh Salman al-Farisi putra Qadhi H. Mahmud putra Asiah putri Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari untuk mempelajari ilmu tentang “Nur Muhammad”.
A.      Perjalanan Hidup dan Sifat-Sifat Mulia KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
1.       Karunia Allah Swt
Dalam usia kurang sepuluh tahun beliau sudah mendapat keistimewaan dan anugerah berupa kasyaf hisyi yaitu dapat mengetahui dan mendengar apa yang berada di dalam sesuatu dan yang tersembunyi dan terdinding. Suatu ketika beliau berjalan-jalan di hutan, rerumputan memberi beliau salam dan menyebutkan kegunaannya untuk pengobatan dan berbagai khasiat lainnya. Begitu pula dengan bebatuan dan besi, namun semuanya itu tidak diperhatikan beliau karena beliau anggap hanya sebagai cobaan dan ujian. Kurang lebih pada usia yang sama pada malam jum’at beliau bermimpi melihat sebuah bahtera (kapal) besar yang turun dari langit dan di muka kapal itu terdapat pintu masuk dan terdapat seorang penjaga seorang lelaki berjubah putih dan di pintunya tertulis Safinatul Awliya (Bahtera para Wali Allah). Tatkala beliau berusaha masuk ke dalam kapal, beliau dihalau penjaganya hingga tersungkur dan beliau pun langsung terbangun. Malam jum’at berikutnya mimpi tersebut terulang kembali hingga pada malam jum’at ketiga beliau bermimpikan yang sama dan beliau diperkenankan masuk ke dalam bahtera tersebut dan disambut oleh seorang syeikh dan di dalamnya beliau melihat banyak kursi yang kosong. Setelah beberapa lama atau sekitar puluhan tahun ketika beliau beranjak dewasa dan menuntut ilmu ke tanah jawa ternyata orang yang menyambut beliau dan menjadi guru beliau yang pertama adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.
2.       Akhlak mulia KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Sejak kecil KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani hidup di tengah keluarga yang saleh dalam didikan orang tua dan bimbingan paman beliau KH. Seman Mulia, sehingga betul-betul tertanam dalam lubuk hati beliau sifat-sifat mulia, sabar, ridha, pasrah, kasih sayang, tidak pemarah, pemurah, sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau, beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua sekalipun beliau pernah dipukul oleh orang yang dengki kepada beliau.
3.       Seorang yang mencintai alim ulama
Beliau adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan ulama dan orang saleh, hal ini tampak sejak beliau masih kecil. Di masa kecil beliau selalu menunggu di jalan di mana biasanya KH. Zainal Ilmi lewat pada hari tertentu ketika hendak ke Banjarmasin, hanya untuk bersalaman dan mencium tangan KH. Zainal Ilmi. 
4.       Petunjuk Allah Swt
Di masa remaja KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani pernah bermimpi bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husin dua cucu Rasulullah Saw dan keduanya masing-masing membawakan pakaian dan memakaikannya kepada beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) dilengkapi dengan surban dan berbagai pakaian lainnya dan ketika itu beliau diberi gelar “Zainal ‘Abidin” (Perhiasan Para Ahli Ibadah). Sesudah dewasa tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal.Banyak orang yang datang belajar kepada beliau. Para habaib senior, ulama, guru bahkan guru yang pernah mengajar beliau sekalipun. Beliau adalah seorang ulama yang mengumpulkan antara syariat, thariqat dan hakikat. Beliau pun adalah seorang yang hafal al-Qur’an serta tafsirnya, yaitu tafsir al-Jalalain.
5.       Sangat sayang kepada orang tua dan keluarga serta bimbingan sang paman yang sangat berpengaruh
Pendidikan yang diberikan oleh paman beliau KH. Seman Mulia sangat berpengaruh dalam dirinya, selain mengajar beliau di sekolah paman beliau juga membawa beliau kepada ulama-ulama lainnya yang mempunyai keahlian khusus dan mengantar beliau langsung baik di Kalimantan maupun di luar Kalimantan, untuk mendalami tafsir dan hadits, beliau dibawa kepada As-Syeikh H. Sya’rani Arif sekalipun KH. Seman Mulia sebagai pagar semua bidang keilmuan namun sifat rendah hati beliau (tawadhu) itulah yang tertanam dalam diri beliau yang memberi pengaruh pada diri KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani.
Pernah suatu ketika beliau ingin bermain seperti anak-anak lainnya, beliau bersama teman yang biasa menemani beliau, pergi ke pasar. Namun apa yang terjadi ketika tiba di pintu gerbang pasar beliau melihat paman beliau dan menyuruh untuk pulang sedang teman beliau itu tidak melihat adanya sang paman. Dan beliau pun langsung pulang ke rumah.
Beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) adalah seorang yang amat berbakti kepada kedua orang tua serta paman beliau. Sehingga suatu ketika mereka sakit sedikitpun beliau tidak pernah meninggalkan meski beliau sendiri dalam keadaan sakit
.
6.       Keturunan (Zurriyat) Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Beliau adalah seorang ulama keturunan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menghidupkan kembali amalan dan thariqat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
7.       Seorang ulama yang selalu di rindukan
Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, tidak pemarah dan pemurah sangat tampak pada diri beliau sehingga beliau sangat disenangi oleh segenap orang, sahabat serta murid beliau. Salah satu sifat beliau yang sangat mulia adalah kalau ada orang yang tidak senang melihat keadaan beliau dan member kritikan kepada beliau, maka beliau tidak membalasnya. Semua tamu-tamu yang bertandang ke rumah beliau selalu diberi jamuan serta berbagai nasehat yang berguna. 
8.       Kegiatan pengajian yang selalu ramai
Pada hari-hari pengajian sekalipun tidak diundang, murid-murid yang mengikuti pengajian beliau tidak kurang dari puluhan ribu orang yang datang dari berbagai penjuru daerah di Kalimantan Selatan dan dari daerah lainnya. Itu adalah karena semata-mata karunia Allah Swt yang diberikan kepada beliau dan menjadikan beliau sebagai seorang ulama “waratsatul anbiya” dan Allah telah tentukan beliau seorang yang alim lagi mulia.[35]
B.      Ajaran Agama dan Keramat KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
1.       Ulama yang berakhlak al-Qur’an Beliau adalah seorang yang mempunyai prinsip dalam berjihad itu benar-benar mencerminkan apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an, misalnya seperti beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya da’wah Islamiyah atau membesarkan (memuliakan) syi’ar Islam, maka sebelum beliau pergi ke tempat tersebut lebih dahulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau datang. Jadi beliau benar-benar berjihad dengan harta lebih dahulu kemudian baru dengan badan dalam arti kata mengamalkan atau melaksanakan perintah al-Qur’an.
Yangberbunyi:
“Dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. at-Taubat: 41)

2.       Satu-satunya ulama yang mendapatkan izin mengijazahkan Thariqat “As-Sammaniyah”
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya ulama di Kalimantan bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan thariqat “As-Sammaniyah”. Karena itu banyak yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan bahkan yang datang dari Jawa dan daerah lainnya. 
3.       Ulama yang sangat berpengaruh dalam pengembangkan pendidikan agama Islam di Kalimantan Selatan
KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang zuriat Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengikuti jejak Datuk beliau yang asalnya tinggal di Keraton kemudian pindah membuka perkampungan baru di Dalampagar dan mengembangkan pendidikan agama di Dalampagar; maka beliau (KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani) pun pindah pula dari Keraton ke Sekumpul membuka Komplek perumahan yang dikenal dengan Komplek Ar-Raudah atau Dalam Regol, yang kemudian meluas ke sekelilingnya sehingga terbentuklah Gang Taufiq dan Gang Mahabbah dan lainnya. Di Sekumpul Komplek Ar-Raudah inilah KH. Muhammad Zaini mendidik para anak murid atau jamaah dalam meningkatkan iman, ilmu dan amal serta taqwa kepada Allah Swt yang dilengkapi dengan sarana ibadah (seperti Mushalla dan berbagai perlengkapannya).
Di Mushalla Ar-Raudah inilah beliau mengajar dan membawa jama’ah dalam beribadat mengamalkan apa yang dikaji atau diajarkan beliau, sehingga kata “kaji dan gawi” sangat jelas kelihatan dalam proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan beliau. 
4.       Memunculkan buah rambutan pada saat belum musimnya
Ketika beliau masih tinggal di Keraton dimana biasanya setelah selesai pengajian atau pembacaan Maulid, beliau berbincang-bincang dengan beberapa orang murid yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dahulu, yang isinya untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita buah rambutan yang pada waktu itu masih belum musimnya, dengan tiada disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangan ke belakang dan kemudian tampak di tangan beliau satu biji buah rambutan masak yang kemudian buah rambutan tersebut langsung beliau makan.
5.       Meminta Kepada Allah Swt Menurunkan Hujan
Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap hujan akan segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta do’a agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang berada di dekat rumah beliau. Setelah memanjatkan doa’ kepada Allah Swt dan bertawassul kepada Baginda Rasulullah Saw lalu beliau goyang-goyangkan pohon pisang tersebut dan tidak lama kemudian hujanpun turun dengan derasnya. 
6.       Air doa KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Banyak orang yang menderita sakit seperti batu ginjal, usus membusuk, anak yang tertelan jarum/peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal di dalam perut ibunya, yang semuanya itu menurut keterangan dokter harus di operasi, namun keluarga mereka meminta doa dan pertolongan kepada KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, maka dengan air yang beliau berikan semuanya dapat tertolong dan
sembuh tanpa operasi. Masih banyak keramat dari KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Yang tersebut di atas hanya sebagian dari sekian banyaknya keramat beliau yang di tulis oleh penulis. Memang keramat ini sangat sulit untuk akal sehat kita menerimanya,namun itulah kekuasaan Allah Swt yang ditunjukkan dan diberikan kepada seorang hamba yang dikasihi-Nya.[36]
C.      KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani sebagai Seorang Pemimpin Keluarga dan Umat Islam Kalimantan Selatan
1.       Seorang yang adil lagi bijaksana KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang adil lagi bijaksana dalam memimpin dan mengayomi masyarakat dan keluarga, terutama terhadap isteri-isteri beliau yang berjumlah beberapa orang dalam satu rumah sehingga kesemuanya tampak keharmonisan dalam keluarga baik dibidang mental maupun spiritual. Dari isteri-isteri beliau tersebut satu diantaranya telah melahirkan dua orang putera atau anak sebagai penyambung generasi atau zuriat yang bernama Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.
2.       Berdakwah dengan lemah lembut dan kasih sayang KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang tokoh ulama zuriat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang hidup dipenghujung abad kedua puluh yang disenangi oleh segenap lapisan masyarakat bahkan dikalangan pemerintahan. Ini terlihat dari majelis pengajian beliau yang dikunjungi oleh puluhan ribu kaum muslimin disetiap hari Kamis sore sampai malam Jum’at dan hari Ahad sore sampai malam Senin yang datang dari berbagai penjuru daerah Kalimantan Selatan. Dan pada hari Sabtu pagi khusus disediakan untuk ibu-ibu kaum muslimat. Beliau adalah seorang ulama yang ramah dan kasih sayang terhadap setiap orang, terutama kepada anak murid beliau sendiri, karenanya beliau tidak segan-segan menegur apabila melihat hal-hal yang dianggap salah atau tidak tepat, hal ini semata-mata adalah karena kasih sayangnya beliau terhadap umat Nabi Muhammad Saw. Karena itu beliau sering menyerukan dengan ungkapan arti kata kota “Martapura”, menurut beliau adalah: “Marilah Taqwa Para Umat Rasulullah”. 
D.      Karya-Karya KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Beberapa hasil karya tulis KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani, antara lain:
1.       Risalah Mubarakah dalam bahasa Arab
2.       Manakib Asy-Syeikh Muhammad Samman al-Madani dalam bahasa Arab
3.       Ar-Risalat an-Nuraniyyah fi Syarh at-Tawassulat as-Sammaniyah, dalam bahasa Arab
4.       Nubzat min Manaqib al Imam al-Masyhur bil Ustadz al A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alwi dalam bahasa Arab 
E.      Pesan-Pesan KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Pesan-pesan yang sering disampaikan beliau dalam pengajian adalah:
1.       Jangan bakhil (yakni hendaklah jadi orang yang pemurah), karena sifat bakhil adalah sifat madzmumah yang paling bandel dan tidak akan keluar sebelum sifat-sifat madzmumah lainnya keluar. Dan apabila keluar sifat bakhil ini berarti sifat-sifat madzmumah lainnya sudah keluar lebih dahulu. Dan sering beliau ucapkan bahwa di pintu surga tertulis: “Anti haramun ‘ala kulli bakhilin” (maksudnya pintu surga dilarang/haram dimasuki orang bakhil).
2.       Jangan tertipu dengan karamah/keramat (yakni dengan segala keganjilan dan keanehan), karena keramat itu adalah anugerah dan pemberian Allah Swt kepada hamba-Nya bukan karena suatu kepandaian atau keahlian, karena itu janganlah terlintas atau berniat untuk mendapatkan keramat dengan melakukan ibadah atau membaca wirid karena keramat yang mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di dalam ibadah.
3.       Kaji dan gawi maksudnya tuntut ilmu kemudian amalkan.
Selain beberapa pesan di atas, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani juga memberi beberapa poin wasiat bagi warga Kalimantan Selatan dalam menghadapi keterpurukan dan krisis akhlak pada zaman sekarang ini.[37]
F.       Beberapa poin wasiat tersebut adalah:
1.       Selalu berpegang teguh kepada Allah Swt dan Baginda Rasulullah Saw
2.       Menghormati serta menjunjung tinggi kedua orang tua dan para ulama
3.       Berbaik sangka terhadap sesama muslim
4.       Murah Hati
5.       Murah harta
6.       Manis muka
7.       Jangan pernah menyakiti orang lain
8.       Mudah memaafkan kesalahan orang lain
9.       Jangan saling bermusuh-musuhan
10.    Jangan tamak, rakus dan serakah
11.    Selalu yakin keselamatan itu kepada kebenaran
12.    Jangan merasa baik daripada orang lain
13.    Tiap-tiap orang yang iri, dengki, atau mau mengadu domba jangan dilayani, serahkan saja kepada Allah Swt. Wasiat ini ditulis beliau sekitar 20 tahun lalu, tepatnya pada 11 Jumadil Akhir 1413 H. meski wasiat ini ditulis dalam bahasa sederhana, namun makna yang terkandung di dalamnya sangatlah mendalam. 
G.      Akhir Hayat KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Di penghujung usia, beliau menderita penyakit berat yang sulit disembuhkan, hingga terakhir beliau dirawat di sebuah rumah sakit di luar negeri, sebuah negara tetangga. Dengan tenaga yang tersisa beliau pulang ke rumah dan tiba pada pukul 20.30 WITA Selasa malam 4 Rajab 1426 H. keesokan harinya pada pukul 05.10 WITA pagi Rabu 5 Rajab 1426 H atau lebih tepatnya 10 Agustus 2005 M. beliau pergi meninggalkan kita semua memenuhi panggilan Allah Swt. Jasad beliau dikebumikan di Pemakaman al Mahya yang berada dalam kompleks ar-Raudhah dan disamping Mushalla ar-Raudhah tepatnya di samping makam paman beliau KH. Seman Mulia[38]

BAB II
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Islam masuk kekalimantan selatan pada masa jauh lebih belakang dibanding, misalnya, Sumatra utara atau aceh. Diperkirakan, telah ada sejumlah Muslim di wilayah itu sejak awal abad ke-16. Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Raden Samudra merupakan Raja pertama yang beragama Islam di Kesultanan Banjar, dengan gelar Sultan Suriansyah. Dalam menyebarkan agama Islam, di Kalimantan selatan, tidak lepas dari peran para ulama. Ulama yang berperan dalam penyebaran agama Islam dikalimantan selatan yaitu Muhammad ‘Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Al-Banjari. Kerajaan Banjar mengalami keruntuhan saat kerajaan Banjar jatuh ketangan belanda pada tahun 1905, yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman. Peran Muhammad Arsyad al-Banjari: 1. Sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu sampai ke
Mekkah dan Madinah 2. Sebagai pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan  bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. 3
Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara. kehadiran dan wacana yang dibicarakan dalam Kitab Hikayat Nur Muhammad, baik langsung ataupun tidak langsung telah memberikan pengaruh yang kuat terhadap kehidupan dan pemikiran masyarakat atau ulama Banjar generasi berikutnya. Terlihat bahwa, pelbagai kitab tasawuf yang dihasilkan kemudian oleh ulama Banjar, tampaknya memiliki keterikatan dan bahkan boleh dikatakan sebagai kesinambungan dari Kitab Hikayat Nur Muhammad. Kitab-kitab tersebut terus menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam memahami tasawuf. Bahkan, pengajian tasawuf yang secara khusus membicarakan tentang Nur Muhammad juga berjalan secara berterusan.


B.      Kritik dan Saran
Tidak ada yang sempurna didunia ini kecuali ciptaan-Nya. Apalagi manusia tidak ada daya apa-apa untuk menciptakan sesuatu. Demikian juga dengan karya ilmiah ini yang jauh dari kesempurnaan. Penulis harap karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang telah membantu dan para pembaca. Kritik dan saran senantiasa saya terima demi penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, renaisan islam asia tenggara : sejarah wacana dan kekuasaan, Bandung: Remaja Rosda, 1999.

Azra, Azyumardi., “jaringan ulama timur tenggah dan kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII”. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2007

Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma  Dan Sistem Islam, (Jakarta; gema insane,2004).

B – BYTE, Ensiklopedia Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.Delata Pamungkas, 2004)
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta; bulan bintang, 1984.

“Muhammad Nafis Al-Banjari’, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama, 1987/8,II.

Dr. Helmiati, M.Ag, “Dinamika Islam Asia Tenggara”, Suska Press, Pekanbaru. 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar

http://noenkcahyana.blogspot.com/2010/11/sufi-dan-ilmu-tasawuf.html

http://www.docstoc.com/docs/21549584/Proses-Islamisasi-dan-Perkembangan-Islam-di-Indonesia---artikel

Idhank Vieya (18 Januari 2013). "Kisah Khatib Dayan".

Sejarah Kompasiana (11 Juli 2013). "Datu Palajau Tokoh Penyebar Islam di Alai Barabai".

Kabar Banjarmasin.Khatib Dayan Pendamping Sultan.

Daudi, Abu, 2006, Al’alimul’alamah Al’arif Billah As-Syeikh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani, Martapura: Yapida.

Barjie, Ahmad. 2012. Mengenang Ulama dan Tokoh Banjar. Yogyakarta: Pustaka Prisma.

El-Rahman, Taufik. 2012. Tanah Banjar: Intelektualisme Tak Pernah Mati!. Landasan Ulin: Penakita Publisher.

Pustaka Basma, Tim. 2012. 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar. Malang: Pustaka Basma


No comments:

Post a Comment

ijaz al ilmi

Cara   I’JAZ AL-ILMI Al-QURAN MATA KULIA H : ULUMUL QUR’AN DOSEN PEMBIMBING: SITI AISYAH M. Ag             ...