TALAK DAN RUJUK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkawinaan adalah akad yang menghalalkan
hubungan laki-laki dengan perempuan dalam ikatan suami istri. Dalam perkawinan
setiap orang ingin membentuk keluarga bahagia dan utuh sampai akhir hayat
tetapi, kadang ada suatu permasalahan yang membuat pertengkaran bahkan
menngambil jalan perceraian. Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak
suami dengan mengucapkan lafazh yang tertentu, misalnya suami berkata kepada
istrinya. Pada dasarnya talak hukumnya boleh, tetapi sangat dibenci menurut
pandangan syara’. Ucapan untuk mentalak istri ada dua yaitu ucapan sharih,
yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak, dan ucapan yang kinayah yaitu
ucapan yang tidak jelas maksudnya.
Salah satu jalan untuk kembali yang digunakan
seorang suami kepada mantan istrinya ialah dengan rujuk. Kesempatan itu
diberikan kepada setiap manusia oleh Allah untuk memperbaiki perkawinannya yang
sebelumnya kurang baik. Hal tersebut merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri mempunyai penngertian yang luas
yaitu kembalinya seorang suami kepada istri yang telah ditalak raj’i bukan
talak ba’in selama masih dalam masa iddah. Dari definisi tersebut, terlihat
beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat perbuatan rujuk. Seseorang yang
ingin melakukuan rujuk harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan mengenai
rujuk agar terlaksana dengan baik. Diantara hal-hal yang berkaitan ialah: tata
cara rujuk, hak rujuk, hukum rujuk serta rukun dan syarat dalam rujuk. Untuk
lebih jelas, dimakalah ini akan dibahas mengenai hal-hal terrsebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Pengertian Talak
?
2.
Bilangan Macam – Macam Talak
?
3.
Ungkapan Cerai (Shighat Talak)
?
4.
Pengertian Rujuk
?
5.
Tata cara rujuk ?
6.
Hak, rukun, dan syarat rujuk
?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tulisan ini bertujuan agar para pembaca bisa
mengerti hal-hal yang harus diperhatikan mengenai talak
dan rujuk agar terlaksana dengan baik, maka berdasarkan
rumusan masalah,tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui
Pengertian Talak.
2. Mengetahui
Bilangan Macam-Macam Talak.
3. Mengetahui
Ungkapan Cerai (Shigat Talak).
4. Mengetahui
Pengertian Rujuk.
5. Mengetahui
Bagaimana Tata Cara Rujuk.
6. Mengetahui
Hak, Rukun, Dan Syarat Rujuk.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TALAK
2.1.1 Definisi
Talak
Talak di ambil dari kata itlak artinya
melepaskan atau meninggalkan. Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik
ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi
seperti nikah. Talak menurut istilah adalah menghilangkan ikatan pernikahan
atau menguranggi pelepasan ikatan dengan mengunakan kata-kata tertentu. Talak
menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan
suami istri.
Langgengnya kehidupan dalam
ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang di utamakan dalam
iman. Akad nikah di adakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri
bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung.
Oleh karna itu dapat di katakan bahwa ikatan
antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan kokoh dan tempaat
mencurahkan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka
tumbuh dengan baik.
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami
istri maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut di rusak dan di
sepelekan, setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan
melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karna ia merusak kebaikan dan menghilangkan
kemaslahatan antara suami istri.[1]
2.1.2 Macam-Macam
Talak
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh
atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.
Talak Raj’i
Talak Raj’I yaitu talak dimana
suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya. Setelah itu di
jatuhkan lafal-lafal tertentu dan istri benar benar sudah di gauli. Jelasnya
talak Raj’I adalah talak yang dijatukan suami kepada istrinya sebagai
talak atau talak dua .Allah berfirman dalam (surat al-baqarah 228)
Yang artinya:“Istri-istri
yang di talak, hendaklah memelihara dirinya selama 3Quru’. Mereka tidak halal
menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dala kandungan rahim mereka.
Jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat dan bekas suami mereka lebih
berhak kembali kepadanya dalam massa iddah itu jika mereka para suami itu
menghendaki ishlah’ (surat Al_baqarah :228)
2.
Talak Ba’in
Apabila
istri berstatus talak ba’in, maka suami tidak boleh rujuk kepadanya, suami
boleh melaksanakan akad nikah baru kepada bekas istrinya itu dan membayar mahar
baru dengan mengunakan rukun dan syarat yang baru pula.
Fuqoha sependapat bahwa talak ba’in terjadi
karena belum terdapatnya pergaulan suami istri karena adanya bilangan talak
tertentu karena adanya penerimaan ganti pada khulu’.[2]
Talak ba’in ada dua macam yaitu talak ba”in sughra dan talak
bai’in kubra
1.
Talak ba’in sughra
yaitu talak yang terjadi kurang dari tiga kali
keduannya tidak hak rujuk dalam massaiddah, akan taetapi boleh dan bisa menikah
kembali dengan akad nikah yang baru. Talak ba’in sughra begitu di ucapkan dapat
memutuskan hubungan suami istri. Karena ikatan perkawinannya telah putus maka
istrinya kembali menjadi orang asing bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak
boleh bersenang-senang dengan perempuan itu apalagi sampai mengaulinya dan jika
salah satunya meninggal sebelum atau masi iddah, maka yang lain tak mendapat memperoleh
warisannya. Akan tetapi, pihak perempuan masih berhak atas sisa pembayaran
mahar yang tidak di berikan secara kontan, sebelum di talak atau sebelum suami
meninggal sesuai yang telah dijanjikan .
Mantan suami boleh atau berhak kepada kembali
kepada, mantan istri yang telah ditalak ba’in sughraadalah akad nikah dan mahar
baru. Selama ia belum menikah dengan laki-laki lain.
Adapun yang termasuk kedalam bagian talak
ba’in sughra adalah
1.
Talak karena fasakh yang di jatukan oleh hakim
di pengadilan agama
2.
Talak pakai iwad (ganti rugi) atau talak
tebus berupa khuluk
3.
Talak karena belum dikumpuli.
2. Talak ba’in
kubra
Talak ba’in kubra yaitu talak yang terjadi
sampai 3x penuh dan tidak ada rujuk dalam massa iddah maupun dalam nikah baru, kecuali
kalau bekas istrinya telah nikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul
sebagai suami istri secara nyata dan sah.[3]
Yang termasuk talak kubra adalah sebagai berikut:
1.
Talak Li’an
Talak li’an yaitu talak yang terjadi karena
suaminya menuduh istrinya berbuaat zina atau suaminya tidak mengakui anak yang
ikandung oleh istrinya kemudian suaminya bersumpah sampai lima kali dalam hal
ini tidak hak untuk rujuk dan menikahinya lagi
2.
Talak Tiga
Bagi
istri yang ditalak 3X, tidak ada rujuk untuk massa iddah. Mantan suami bisa
kembali dengan pernikahan baru apabila;
a.
Mantan istri telah menikah lagi dengan
laki-laki lain
b.
Telah digauli dengan suami yang kedua (suami
baru)
c.
Sudah dicerai suami yang kedua
d.
Telah habis masa iddahnya
3.
Talak Sunni Dan
Talak Bid’y
Fuqoha sepakat membolehkan seorang suami
menjatuhkan talak sunni terhadap istrinya yaitu apabila ia menjatuhkan talak
satu kepada istrinya ketika dalam keadaan suci dan belum di gauli. Apabila
suami yang menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haid atau suci tapi
sudah di gauli maka termasuk talak bid’y.
Jika talak sunni adalah talak yang di jatuhkan
ketika istri telah suci dari haidnya dan belum di campuri sejak saat berhenti
dari haid ini, maka ia telah masuk kedalam iddahnya dan pada saat ini suami
boleh.[4]
2.1.3 Rukun Talaq
Beberapa hal yang menjadi rukun talak dengan
syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:
1.
Kata-kata talak
Dalam hal kata-kata talak terdapat 2
persoalan, yaitu kata-kata talak mutlak dan kata-kata talak muqayyad (terbatas).
A.
Kata-kata talak mutlak
Ulama sepakat bahwa suatu talak dapat terjadi,
apabila disertai dengan niat dan menggunakan kata-kata yang tegas. Kata-kata
talak itu ada 2 yaitu:
1)
Kata-kata tegas
(Sharih)
Kata-kata talak yang sharih artinya lafal yang
digunakan itu terus terang menyatakan perceraian.
Misalnya: suami berkata kepada istrinya “Engkau telah aku
ceraikan” atau “Aku telah menjatuhkan talak untukmu, “Engkau tertalak,”
2)
Kata-kata talak tidak
tegas (sindiran)
Sindiran artinya lafal yang tidak ditetapkan
untuk perceraian, tetapi bisa berarti talak dan lainnya.
Misalnya, “Engkau terpisah” kata ini bisa berarti pisah dari
suami, atau bisa juga pisah (terjauh) dari kejahatan atau kata-kata lain.
2.
Orang (suami) yang
menjatuhkan talak
Orang (suami) yang boleh menjatuhkan talak adalah:
a) Berakal sehat, maka
tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b) Dewasa dan merdeka
c) Tidak dipaksa
d) Tidak senang mabuk
e) Tidak main-main atau
bergurau
f) Tidak pelupa
g) Tidak dalam keadaan
bingung
h) Masih ada hak untuk
mentalak
3.
Istri yang dapat
dijatuhi talak
Mengenai istri-istri yang dapat di
jatuhi
talak, Fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
a) Perempuan yang
dinikahi dengan sah
b) Perempuan yang masih
dalam ikatan nikah yang sah atau ismah
c) Belum habis masa
iddahnya pada talak raj’i.
d) Tidak sedang haid atau
suci yang dicampuri[5]
2.1.4 Syarat
Sah Jatuhnya Talak
Talak yang dijatuhkan oleh suami dianggap sah
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Orang yang menjatuhkan talak itu sudah
mukallaf balig, dan berakal sehat
2.
Talak itu hendaknya dilakukan atas kemauan[6]
2.1.5 Bilangan
Talak
Orang yang merdeka berhak mentalak istrinya
dari satu sampai tiga kali talak. Talak satu atau dua boleh rujuk kembali
sebelum habis masa iddahnya dan boleh kawin kembali sesudah iddah.
Ketika seorang suami menjatuhkan talaq satu
atau pada istrinya, maka suami masih bisa untuk rujuk lagi dengan istrinya
selama masa iddahnya belum habis. Apabila masa iddahnya telah habis,
diperbolehkan bagi suaminya untuk menikahi mantan istrinya tersebut dengan
melaksanakan akad nikah baru, dengan ketentuan bahwa suami tinggal memiliki
sisa talaq dari talaq sebelumnya, maksudnya jika sebelumnya ia menceraikan
istrinya dengan talaq satu, maka ia masih memiliki dua talaq, dan bila ia
menceraikan istrinya dengan dua talaq, maka ia tinggal memiliki satu talaq
lagi.
Ketentuan bahwa suami tinggal memiliki sisa
dari talaq yang telah dijatuhkan sebelumnya tersebut berlaku bagi suami baik ia
menikahi mantan istrinya setelah masa iddahnya habis dan belum dinikahi
laki-laki lain atau setelah istrinya dinikahi oleh orang lain. Sebab keberadaan
suami baru bagi mantan istrinya tidak mempengaruhi jatah talaq suami pertama
sebelum ia menuntaskan bilangan talaqnya.[7]
Ucapan talak ada dua macam yaitu Sharih dan
Kinayah :
1.
Talak Sharih menggunakan 3 lafal yaitu
talaq, firaq dan sarah, lafal pertama sudah popular baik secara bahasa maupun
syara’. Lafal kedua dan ketiga terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna terpisah
antara kedua pasang suami istri.
Keduanya diungkapkan secara jelas seprti lafal
talak. Allah berfirman, “maka menahan dengan baik atau melepaskan
dengan baik” (Q.S Al-Baqarah: 229)[8]
1.
Ungkapan talak dengan
sindiran (kinayah)
Lafal talak sindiran
(kinayah), yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yanglain
kalimatnya banyak dan tidak terhitung.
Berikut ini contoh talak sindiran, misalnya
engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melanggarlah, bebaskan
rahimmu, pulanglah ke orang tuamu, talimu terhadap aku keanehanmu, jauhilah aku, pergilah dan
lain-lain.Beberapa masalah, perkataan seorang suami
terhadap istri: “Engkau terhadapku” diartikan talak dan mungkin zhihar
(penyerupaan istri dengan mahram suami).
Ada beberapa kemungkinan makna ungkapan
tersebut yakni sebagai berikut:
a.
Jika la berniat talak
jadilah terletak karena mengandung arti haram
sebab talak dan jika
berniat lain yang banyak terjadi adalah yang sesuai dengan niatnya.
b.
Jika diniatkan zhihar terjadilah zhihar karena
zhihar menuntut keharaman sampai kekufuran boleh
menggunakan sindiran haram.
c.
Jika seseorang berniat keduanya secara
bersamaan yakni talak dan zhihar, boleh memilih
diantara keduanya dan terjadilah apa yang di
pilih.
d.
Jika tidak berniat apapun maka tidak terjadi
apapun juga, tidak zhihar dan
tidak talak karena
satu dari dua lafal yang digunakan diatas tak tegas sedangkan sindiran perlu
niat yang akan membantu maksud lafal.
e.
Jika ia berniat dengan ucapannya.[9]
2.1.6 Cerai
1.
Cerai Talak
a.
Pihak Suami
2.
Cerai Gugat
a.
Dari Pihak Isteri, Suami Sebagai
Tergugat
A.
Cerai Hidup
1.
Dalam Keadaan Haid 3 Kali Suci
2.
Tidak Haid 3 Bulan/ Masih kecil
3.
Sampai Umur Tapi Belum Haid
4.
Pernah Haid, Menofause/ Tidak Haid Lagi
2.1.7 Kesepakatan
Ulama Fiqih
1.
Talak Yang Di Larang Oleh Agama
a)
Wajib > Perselisihan
b)
Haram > Tanpa Sebab
c)
Makruh > Isteri Lalai Dengan Tanggung
Jawabnya,Berakhlak Buruk
d)
Sunnah > Tidak Mampu Menjaga
Agama,Kehormatan,& Kesucian
2.1.8 Hal-Hal
Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Perceraian :
1.
Suka Membandingkan
2.
Tidak Pernah Merasa Cukup
3.
Berhias Bukan Untuk Suami
4.
Tidak Pandai Berterima Kasih Pada suami
2.1.9 Dampak
Perceraian
1.
Perkawinan Menjadi Putus
2.
Anak > Hak Asuh Anak
3.
Benda > Di Bagi Rata (Harta Bersama)
Penentuan
4.
Wajib Nafkah Pria Isteri & Anak
B.
Hak Asuh Anak
1.
Umur 0-2 tahun > sebaiknya keduanya
2.
Umur 2-5 tahun > keduanya (pra
sekolah)
C.
Mumayyiz
1.
Usia 7 tahun > Laki-Laki
2.
Usia 9 tahun > Perempuan
3.
Sebelum 12 tahun > Hak Ibu
4.
Sesudah Mumayyiz > Anak Memilih Biaya
Pemeliharaan di tanggung ayah
2.1.10 Jumhur
Salaf :
1.
Contoh Kasus Iddah > Cerai Perempuan
Hamil
2.
Iddah > Isteri Yang Di Tinggal Suami
(Meninggal) Dalam Keadaan Hamil , Anak Lahir Sebelum Waktu Di Tentukan (4 Bulan
10 Hari), Iddahnya Telah Habis atau Tidak ?
Ada
2 Pendapat :
1.
Jumhur Ulama > Iddahnya Habis Setelah
Anak Lahir Walaupun Belum Cukup Waktu.
2.
Ali > Apabila Waktu Belum Cukup
Walaupun Anak Sudah Lahir Tetap Harus Menunggu Sampai Waktu Yang Di Tentukan.
2.1.11
Iddah Menurut 2 Mahzab
1.
Syafi’I > Kalau Bukan Anak Dari Suami
Yang Di Ceraikan, Tidak Ada Massa Iddah.
2.
Hanifah > Tetap Beriddah.
2.2 RUJUK
2.2.1 Definisi
Rujuk
Rujuk merupakan
prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang diberikan Allah SWT untuk
menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus selama-lamanya. Hal ini
diperbolehkan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Rujuk hanya
dilakukan pada talak raj’i, yaitu talak pertama atau kedua yang dijatuhkan
suami kepada istri yang telah digauli. Oleh sebab itu, rujuk tidak dapat
diberikan pada peristiwa talak yang ketiga (ba’in). Rujuk dilakukan melalui
perkataan yang jelas, bukan perbuatan. Para ulama berbeda pendapat mengenai
rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Menurut Imam Syafi’i, bahwa rujuk
tersebut tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya mengatakan sah.
Rujuk tidak mudah
untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri mempunyai tata caranya dan ada pasal-pasal
yang mengatur bagaimana cara merujuk. Diantara pasal-pasal tersebut ialah:
pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169 KHI. Seseoarang yang melakukan rujuk dengan
tujuan tidak baik, maka hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut merupakan
perbuatan yang dzalim.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah
kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada
hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai
ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam
hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.[10]
Dari definisi-definisi tersebut terlihat
beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk
itu:
1.
Kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti
bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan
tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada
orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
2.
Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i”
mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang
belum putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri
yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i
tidak disebut rujuk.
3.
Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah”
mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam
iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak dapat lagi kembali kepadamistrinya
dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad
baru.[11]
Rujuk terhadap Wanita
yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hambaliyah dalam Mughniyah, berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak
ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan),
melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan
talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama dengan
wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya
akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah
tidak dianggap sebagai syarat.[12]
Seorang suami yang menceraikan istrinya tiga
kali atau lebih, maka suami tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada
istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah
perempuan tersebut darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain,
telah bersetubuh dengan lelaki yang telah
di kawininya lagi, telah
dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa iddahnya dari
lelaki tersebut.[13]
2.2.2 Rukun
dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi
syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
A.
Rukun Rujuk
Yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan
istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas
kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk
dari suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai
saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang
wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain
mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk
yang dilakukan dengan perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak
sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus
dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan
sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan
perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang
berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak
ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat
tersebut hanya sunnah, bukan wajib.[14]
B.
Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para
ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan mantan istri.
Syarat-syarat tersebut ialah.Laki-laki yang merujuk,
adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai berikut:
1.
laki-laki yang merujuk adalah suami bagi
perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah,
dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang mampu melaksanakan
pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan
bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa atau
dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu
pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya.
Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang
memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam
menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
2.
Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya
rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah perempuan itu istri yang sah dari
laki-laki yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak
sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak
namun dalam bentuk talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah
talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang
ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis
iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi
boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
Tidak sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat
digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam
iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah,
sebagaimana disebutkan sebelumnya.[15]
Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan
Tarigan mengatakan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:
Kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan
dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak
tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
a.
Tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu
istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan
b.
saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan
bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam sepakat
mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati belaka.[16]
A.
Syarat Rujuk
1.
Niat
2.
Istri Yang di rujuk masih dalam masa
iddah
2.2.3 Tata
Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa
pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur
tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1.
Suami yang hendak merujuk istrinya datang
bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan
tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2.
Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3.
Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan
menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk
menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak
raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4.
Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan
masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku
Pendaftaran Rujuk dan
5.
Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai
Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka
yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal
168 KHI:
1.
Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing. yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat
dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan,
2.
Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk
oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari
sesudah rujuk dilakukan.
3.
Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu
hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar
lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.[17]
Menurut Hakim, tata cara mengenai rujuk dalam
pasal 169 KHI ialah sebagai berikut :
1.
Pegawai Pencatat Nikah membuat surat
keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama
di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri
masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Mentri Agama,
2.
Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku
Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak
dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah
diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang tersedia pada Kutipan
bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
3.
Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya
rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk, dan tanda tangan Panitera.[18]
B.
Rujuk
1. Suami
yang merujuk
2. Isteri
yang merujuk
3. Ucapan
a.
Tulisan
b.
Shigat
c.
Saksi
C.
Hukum Rujuk
1.
Mubah > sesuai dengan hukum asalnya
2.
Sunnah > untuk memperbaiki hubungan
3.
Makruh > apabila rujuk menimbulkan
mudharat
4.
Haram > apabila kembali, tapi membuat
isteri teraniaya
2.2.4 Hikmah
Rujuk
Di bolehkannya rujuk bagi
suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah,
diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak
untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling memusuhi
serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan
kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang
dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah
kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga
sehingga keutuhan keluarga dapat di pelihara.
2.2.5 Hukum
Rujuk
Ada pun hukum rujuk, yaitu
:
1.
Wajib, terhadap suami yang mentalak salah
seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang
ditalak,
2.
Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti
istri,
3.
Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan
berfaedah bagi keduanya,
4.
Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan
5.
Sunnah, apabila suami bermaksud untuk
memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya.[19]
2.2.6 Hak
Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas
istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah
ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan)”.
Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan
bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak
dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan
yang tidak baik atau berbuat zalim.[20]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah:
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan,
baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi
seperti nikah. Talak menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan
mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah
kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada
hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai
ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam
hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.
3.2 Saran
Di dalam kehidupan kita
sering kita mendengar kata talak dan rujuk serta yang berkaitan tentang itu,
tetapi kebanyakan kita tidak mengetahui secara benar apa yang dimaksud dengan
talak, dan rujuk. Untuk itu kami menyusun makalah
ini
agar dapat memberikan
pelajaran tentang talak dan iddah supaya pemahami dan pengetahuan dapat
bertambah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani. 1994.Komplikasi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Hakim, Haji Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2008.Fiqih Lima Mazhab.
Jakarta: Lentera.
Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ramulyo, Muhammad Idris. 1996.Hukum Perkawinan Islam.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Subki, A’la. 2010. Pendidikan Agama Islam. Klaten:
CV. Gema Nusa.
[1]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008) h.15
[2]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008) h.16-18
[3] Mughniyah, Muhammad Jawad. (2008.Fiqih Lima Mazhab). Jakarta: Lentera h.19-21
[4]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008) . H.21-23
[5] Mughniyah,
Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008).
h.24-25
[6] Hakim, Haji Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: (CV. Pustaka Setia.2000). h.16-17
[7] Ramulyo,Muhammad
Idris.Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: PT. Bumi Aksara.1996). h.20
[8] Mughniyah,
Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008) h.26
[9]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008). h.28
[10]Hakim, Haji Rahmat.Hukum Perkawinan Islam.(Bandung:CV.Pustaka Setia.2000) h.18
[11]Syariffudin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.(Jakarta: Kencana.2000). h.25
[12]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008).30
[13]Ramulyo,Muhammad Idris.Hukum Perkawinan Islam.(Jakarta:PT.Bumi Aksara.1996) h.26
[14]Abdullah, Abdul Gani.Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia.(Jakarta: Gema Insani
Press.1994). h.20
[15]Mughniyah, Muhammad Jawad.Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta: Lentera.2008) . h.35
[16] Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan.Hukum Perdata Islam di
Indonesia.(Jakarta: Kencana.2004)
h.25
[17]Abdullah, Abdul Gani.Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia.(Jakarta: Gema Insani
Press.1994) h.25
[18]Abdullah, Abdul Gani.Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia.(Jakarta: Gema Insani
Press.1994) h.27
[19]Ramulyo,Muhammad Idris.Hukum Perkawinan Islam.(Jakarta:PT. Bumi Aksara.1996) h.28-29
[20]Syariffudin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.(Jakarta: Kencana.2009). h.17
No comments:
Post a Comment